ASOSIASI Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) menilai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi lamban dalam merespons perubahan global. Hal tersebut di antaranya tercermin dari sulitnya perguruan tinggi untuk memeroleh izin pembukaan program studi (prodi) baru yang relevan dengan revolusi industri 4.0.
Ketua Aptisi Budi Djatmiko menegaskan, jika Kemenristekdikti tak mengeluarkan kebijakan untuk mempermudah pembukaan prodi, maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan PTS akan sulit bersaing. Pasalnya, beragam upaya yang dilakukan PTS untuk meningkatkan daya saing, yang di antaranya melalui pembukaan prodi baru, kerap terbelenggu oleh regulasi.
“Aptisi sudah menyampaikan hal ini kepada presiden. Pembukaan prodi baru bagi PTS supaya dipermudah. Namun sejauh ini sulit terwujud karena kesiapan dari Kemenristekdikti sebagai penyelenggara belum ada. Mestinya peraturan menteri yang mengatur pembukaan dan penutupan prodi direvisi sehingga prodi yang dibutuhkan dunia industri dapat dibuka,” kata Budi di Jakarta, Sabtu, 13 Oktober 2018.
Ia menjelaskan, poin yang harus direvisi antara lain persyaratan minimal memiliki 6 dosen untuk membuka prodi. Jumlah tersebut terlalu banyak dan bisa disederhanakan menjadi 3 dosen saja dengan perhitungan rasio dosen mahasiswa.
Menurut dia, regulasi yang ada saat ini tak sesuai dengan tuntutan zaman. “Terlalu banyak aturan,” ujarnya.
Tidak adaptif
Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta Edy Suandi Hamid menyatakan, beberapa regulasi yang diterbitkan Kemenristekdikti tidak adaptif dengan upaya yang dilakukan perguruan tinggi dakam memenuhi kebutuhan dunia usaha dan industri. Ironisnya, ucap Edy, dalam setiap kesempatan Menristekdikti kerap menuntut peguruan tinggi untuk siap merespons era revolusi industri 4.0 dengan baik.
“Seperti halnya untuk linearitas prodi yang masih kaku. Walaupun Pak Nasir (Menristektikdi) sudah relatif open minded, tetap saja masih lambat. Bahkan ide perubahan dari menteri sendiri lambat dieksekusi. Padahal presiden bukan sekali dan dua kali mengimbau perguruan tinggi harus adaptif dengan tuntutan zaman,” kata Edy.
Ia menegaskan, jika tak ada pembenahan dari sisi regulasi, maka perguruan tinggi akan kesulitan dalam menghadapi perubahan. Ia sepakat dengan Aptisi bahwa salah satu regulasi yang harus segera direvisi adalah terkait penutupan dan pembukaan prodi baru.
“Silakan tanya ke semua rektor, perizinan (prodi) sangat lambat. Akibatnya perguruan tinggi sering mencari berbagai cara agar pendirian prodi bisa cepat karena prosesnya sangat lama. Kemenristekdikti super birokratif,” ujarnya.
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Dwia Aries Tina Palubuhu mengatakan, pembukaan prodi baru merupakan salah satu inovasi dari perguruan tinggi dalam mempersiapkan generasi muda yang kompeten di masa mendatang. Kendati demikian, pembukaan prodi juga harus ditunjang oleh kompetensi dari para dosennya. “Syarat pembukaan prodi dengan minimal enam tenaga ahli dari berbagai bidang yang sulit terwujud,” ucap Dwia.
Ia menyatakan, selain membuka prodi, masih banyak cara untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Di antaranya kolaborasi metode pendidikan antarperguruan tinggi bebasis pemanfaatan teknologi, yakni pendidikan jarak jauh (PJJ). Dengan demikian, krisis jumlah dosen dan tenaga ahli dalam bidang prodi baru bisa teratasi.(pikiran-rakyat.com)
from Siap Belajar https://ift.tt/2yjwD3P
via IFTTT