Tampilkan postingan dengan label IFTTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IFTTT. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Oktober 2018

Zonasi Bukan Hanya untuk PPDB

Ilustrasi (pikiran-rakyat.com)

SEKRETARIS Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Sesjen Kemendikbud) Didik Suhardi mengungkapkan bahwa sistem zonasi bukan hanya diterapkan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menuturkan, zonasi adalah suatu kebijakan untuk mempercepat pelaksanaan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Tanah Air.

Sekjen Kemendikbud Didik Suhardi mengatakan, Kemendikbud memfokuskan sistem zonasi di daerah yang belum memiliki sekolah yang berkualitas. “Sistem zonasi kita fokuskan untuk daerah-daerah yang di zonasi itu tidak ada sekolah yang berkualitas. Tapi ini masih digodok belum selesai,” ujar Didik dalam acara Lokakarya Peningkatan Motivasi dan Kerja Sama Sumber Daya Manusia, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/10/2018).

Didik menambahkan, Kemendikbud harus menciptakan lebih banyak lagi sekolah favorit, dengan menerapkan program interferensi dalam peningkatan pendidikan. “Makanya diperlukan program intervensi. Intervensi bisa dalam bentuk program peningkatan kualitas guru, peningkatan sarana prasarana, perbaikan proses belajar mengajar, perbaikan kegiatan kesiswaan, dan lain-lain,” ujarnya.

Menurut Didik, harus ada intervensi terhadap sekolah-sekolah, yakni sekolah mana saja yang sudah mendekati Standar Nasional Pendidikan (SNP). “Dan itu yang akan diintervensi sehingga ada sekolah bagus di setiap zona,” tuturnya. Ia menuturkan, jika masyarakat ingin mengakses titik zonasi, bisa mengunjungi laman khusus, yaitu zonamutu.data.kemdikbud.go.id.

Didik kembali menegaskan bahwa zonasi bukan hanya untuk PPDB, melainkan untuk keseluruhan program yang tujuan utamanya adalah mewujudkan percepatan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia, dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, maupun pendidikan masyarakat. Zonasi ditetapkan bersama-sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bukan hanya oleh pemerintah pusat.

“Tentu dengan zonasi nanti harapannya sekolah favorit itu ada di setiap zonasi, bukan hanya di tempat-tempat tertentu. Di semua zonasi harapannya adalah sekolah favorit. Tentu kita akan mempercepat di setiap zona ini ada sekolah yang berkualitas. Jadi sekolah kualitas itu ada di mana-mana,” tutur Didik.(kemdikbud.go.id)


from Siap Belajar https://ift.tt/2ClxEv9
via IFTTT

Ilustrasi (pikiran-rakyat.com)

SEKRETARIS Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Sesjen Kemendikbud) Didik Suhardi mengungkapkan bahwa sistem zonasi bukan hanya diterapkan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menuturkan, zonasi adalah suatu kebijakan untuk mempercepat pelaksanaan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Tanah Air.

Sekjen Kemendikbud Didik Suhardi mengatakan, Kemendikbud memfokuskan sistem zonasi di daerah yang belum memiliki sekolah yang berkualitas. “Sistem zonasi kita fokuskan untuk daerah-daerah yang di zonasi itu tidak ada sekolah yang berkualitas. Tapi ini masih digodok belum selesai,” ujar Didik dalam acara Lokakarya Peningkatan Motivasi dan Kerja Sama Sumber Daya Manusia, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/10/2018).

Didik menambahkan, Kemendikbud harus menciptakan lebih banyak lagi sekolah favorit, dengan menerapkan program interferensi dalam peningkatan pendidikan. “Makanya diperlukan program intervensi. Intervensi bisa dalam bentuk program peningkatan kualitas guru, peningkatan sarana prasarana, perbaikan proses belajar mengajar, perbaikan kegiatan kesiswaan, dan lain-lain,” ujarnya.

Menurut Didik, harus ada intervensi terhadap sekolah-sekolah, yakni sekolah mana saja yang sudah mendekati Standar Nasional Pendidikan (SNP). “Dan itu yang akan diintervensi sehingga ada sekolah bagus di setiap zona,” tuturnya. Ia menuturkan, jika masyarakat ingin mengakses titik zonasi, bisa mengunjungi laman khusus, yaitu zonamutu.data.kemdikbud.go.id.

Didik kembali menegaskan bahwa zonasi bukan hanya untuk PPDB, melainkan untuk keseluruhan program yang tujuan utamanya adalah mewujudkan percepatan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia, dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, maupun pendidikan masyarakat. Zonasi ditetapkan bersama-sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bukan hanya oleh pemerintah pusat.

“Tentu dengan zonasi nanti harapannya sekolah favorit itu ada di setiap zonasi, bukan hanya di tempat-tempat tertentu. Di semua zonasi harapannya adalah sekolah favorit. Tentu kita akan mempercepat di setiap zona ini ada sekolah yang berkualitas. Jadi sekolah kualitas itu ada di mana-mana,” tutur Didik.(kemdikbud.go.id)


from Siap Belajar https://ift.tt/2ClxEv9
via IFTTT

Mendikbud: Tata Kelola Pengawas dan Kepsek Harus Diperbarui

Para pengawas susun strategi pengembangan pembelajaran aktif dalam kerangka tugas dan fungsi kepengawasan (15/8).(USAID Prioritas)

MENTERI  Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan tata kelola pengawas dan kepala sekolah harus mengalami pembaharuan dan kebaruan seiring dengan perkembangan zaman. Mendikbud mengatakan kepala dan pengawas sekolah memiliki peran strategis tidak saja menentukan hitam putihnya pendidikan di sekolah, tetapi bahkan menentukan cetak biru generasi bangsa.

“Kepala sekolah dan pengawas sekolah merupakan dua unsur penting dalam pengelolaan layanan pendidikan di satuan pendidikan,” ucap Mendikbud saat memberikan pengarahan pada bimbingan teknis fungsional calon pengawas sekolah dan penguatan kompetensi pengawas sekolah di Jakarta, Senin (15/10).

Dia melanjutkan perlu adanya kajian yang menyeluruh baik yang berkaitan dengan kesiapan atau kelayakan lembaga penyelenggara, metode maupun subtansi pelatihan.

“Pelatihan yang dikembangkan tidak hanya sekedar pelatihan konvensional yang selama ini dikembangkan. Pelatihan yang diharapkan adalahh pelatihan yang benar-benar menyentuh sisi instristik para peserta,” tambah dia.

Sementara itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Supriano, mengatakan pelatihan itu bertujuan untuk membangun tata kelola tenaga kependidikan khususnya pengawas sekolah.

Kasubdit Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karir untuk Pendidik Kemendikbud, Renny Yunus, mengatakan jumlah pengawas sekolah di Tanah Air mencapai 30.000. Dengan adanya aturan dari Permenpan menyebutkan bahwa pengawas yang sudah menjabat sejak 1 Juli 2017 tidak diwajibkan untuk mengikuti pelatihan.

“Pola pelatihannya 71 jam. Untuk itu, kami mencetak instruktur nasionalnya dulu, baru kemudian pelatihan hingga ke tingkat kabupaten. Begitu juga untuk calon pengawas, mereka wajib mengikuti pelatihan ini,” kata Renny.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ChLvm0
via IFTTT

Para pengawas susun strategi pengembangan pembelajaran aktif dalam kerangka tugas dan fungsi kepengawasan (15/8).(USAID Prioritas)

MENTERI  Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan tata kelola pengawas dan kepala sekolah harus mengalami pembaharuan dan kebaruan seiring dengan perkembangan zaman. Mendikbud mengatakan kepala dan pengawas sekolah memiliki peran strategis tidak saja menentukan hitam putihnya pendidikan di sekolah, tetapi bahkan menentukan cetak biru generasi bangsa.

“Kepala sekolah dan pengawas sekolah merupakan dua unsur penting dalam pengelolaan layanan pendidikan di satuan pendidikan,” ucap Mendikbud saat memberikan pengarahan pada bimbingan teknis fungsional calon pengawas sekolah dan penguatan kompetensi pengawas sekolah di Jakarta, Senin (15/10).

Dia melanjutkan perlu adanya kajian yang menyeluruh baik yang berkaitan dengan kesiapan atau kelayakan lembaga penyelenggara, metode maupun subtansi pelatihan.

“Pelatihan yang dikembangkan tidak hanya sekedar pelatihan konvensional yang selama ini dikembangkan. Pelatihan yang diharapkan adalahh pelatihan yang benar-benar menyentuh sisi instristik para peserta,” tambah dia.

Sementara itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Supriano, mengatakan pelatihan itu bertujuan untuk membangun tata kelola tenaga kependidikan khususnya pengawas sekolah.

Kasubdit Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karir untuk Pendidik Kemendikbud, Renny Yunus, mengatakan jumlah pengawas sekolah di Tanah Air mencapai 30.000. Dengan adanya aturan dari Permenpan menyebutkan bahwa pengawas yang sudah menjabat sejak 1 Juli 2017 tidak diwajibkan untuk mengikuti pelatihan.

“Pola pelatihannya 71 jam. Untuk itu, kami mencetak instruktur nasionalnya dulu, baru kemudian pelatihan hingga ke tingkat kabupaten. Begitu juga untuk calon pengawas, mereka wajib mengikuti pelatihan ini,” kata Renny.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ChLvm0
via IFTTT

Aptisi Menilai Kemenristekdikti Lamban Merespons Perubahan Global Era Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 (pikiran-rakyat.com)

ASOSIASI  Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) menilai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi lamban dalam merespons perubahan global. Hal tersebut di antaranya tercermin dari sulitnya perguruan tinggi untuk memeroleh izin pembukaan program studi (prodi) baru yang relevan dengan revolusi industri 4.0.

Ketua Aptisi Budi Djatmiko menegaskan, jika Kemenristekdikti tak mengeluarkan kebijakan untuk mempermudah pembukaan prodi, maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan PTS akan sulit bersaing. Pasalnya, beragam upaya yang dilakukan PTS untuk meningkatkan daya saing, yang di antaranya melalui pembukaan prodi baru, kerap terbelenggu oleh regulasi.

“Aptisi sudah menyampaikan hal ini kepada presiden. Pembukaan prodi baru bagi PTS supaya dipermudah. Namun sejauh ini sulit terwujud karena kesiapan dari Kemenristekdikti sebagai penyelenggara belum ada. Mestinya peraturan menteri yang mengatur pembukaan dan penutupan prodi direvisi sehingga prodi yang dibutuhkan dunia industri dapat dibuka,” kata Budi di Jakarta, Sabtu, 13 Oktober 2018.

Ia menjelaskan, poin yang harus direvisi antara lain persyaratan minimal memiliki 6 dosen untuk membuka prodi. Jumlah tersebut terlalu banyak dan bisa disederhanakan menjadi 3 dosen saja dengan perhitungan rasio dosen mahasiswa.

Menurut dia, regulasi yang ada saat ini tak sesuai dengan tuntutan zaman. “Terlalu banyak aturan,” ujarnya.

Tidak adaptif

Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta Edy Suandi Hamid menyatakan, beberapa regulasi yang diterbitkan Kemenristekdikti tidak adaptif dengan upaya yang dilakukan perguruan tinggi dakam memenuhi kebutuhan dunia usaha dan industri. Ironisnya, ucap Edy, dalam setiap kesempatan Menristekdikti kerap menuntut peguruan tinggi untuk siap merespons era revolusi industri 4.0 dengan baik.

“Seperti halnya untuk linearitas prodi yang masih kaku. Walaupun Pak Nasir (Menristektikdi) sudah relatif open minded, tetap saja masih lambat. Bahkan ide perubahan dari menteri sendiri lambat dieksekusi. Padahal presiden bukan sekali dan dua kali mengimbau perguruan tinggi harus adaptif dengan tuntutan zaman,” kata Edy.

Ia menegaskan, jika tak ada pembenahan dari sisi regulasi, maka perguruan tinggi akan kesulitan dalam menghadapi perubahan. Ia sepakat dengan Aptisi bahwa salah satu regulasi yang harus segera direvisi adalah terkait penutupan dan pembukaan prodi baru.

“Silakan tanya ke semua rektor, perizinan (prodi) sangat lambat. Akibatnya perguruan tinggi sering mencari berbagai cara agar pendirian prodi bisa cepat karena prosesnya sangat lama. Kemenristekdikti super birokratif,” ujarnya.

Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Dwia Aries Tina Palubuhu mengatakan, pembukaan prodi baru merupakan salah satu inovasi dari perguruan tinggi dalam mempersiapkan generasi muda yang kompeten di masa mendatang. Kendati demikian, pembukaan prodi juga harus ditunjang oleh kompetensi dari para dosennya. “Syarat pembukaan prodi dengan minimal enam tenaga ahli dari berbagai bidang yang sulit terwujud,” ucap Dwia.

Ia menyatakan, selain membuka prodi, masih banyak cara untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Di antaranya kolaborasi metode pendidikan antarperguruan tinggi bebasis pemanfaatan teknologi, yakni pendidikan jarak jauh (PJJ). Dengan demikian, krisis jumlah dosen dan tenaga ahli dalam bidang prodi baru bisa teratasi.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2yjwD3P
via IFTTT

Revolusi Industri 4.0 (pikiran-rakyat.com)

ASOSIASI  Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) menilai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi lamban dalam merespons perubahan global. Hal tersebut di antaranya tercermin dari sulitnya perguruan tinggi untuk memeroleh izin pembukaan program studi (prodi) baru yang relevan dengan revolusi industri 4.0.

Ketua Aptisi Budi Djatmiko menegaskan, jika Kemenristekdikti tak mengeluarkan kebijakan untuk mempermudah pembukaan prodi, maka kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan PTS akan sulit bersaing. Pasalnya, beragam upaya yang dilakukan PTS untuk meningkatkan daya saing, yang di antaranya melalui pembukaan prodi baru, kerap terbelenggu oleh regulasi.

“Aptisi sudah menyampaikan hal ini kepada presiden. Pembukaan prodi baru bagi PTS supaya dipermudah. Namun sejauh ini sulit terwujud karena kesiapan dari Kemenristekdikti sebagai penyelenggara belum ada. Mestinya peraturan menteri yang mengatur pembukaan dan penutupan prodi direvisi sehingga prodi yang dibutuhkan dunia industri dapat dibuka,” kata Budi di Jakarta, Sabtu, 13 Oktober 2018.

Ia menjelaskan, poin yang harus direvisi antara lain persyaratan minimal memiliki 6 dosen untuk membuka prodi. Jumlah tersebut terlalu banyak dan bisa disederhanakan menjadi 3 dosen saja dengan perhitungan rasio dosen mahasiswa.

Menurut dia, regulasi yang ada saat ini tak sesuai dengan tuntutan zaman. “Terlalu banyak aturan,” ujarnya.

Tidak adaptif

Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta Edy Suandi Hamid menyatakan, beberapa regulasi yang diterbitkan Kemenristekdikti tidak adaptif dengan upaya yang dilakukan perguruan tinggi dakam memenuhi kebutuhan dunia usaha dan industri. Ironisnya, ucap Edy, dalam setiap kesempatan Menristekdikti kerap menuntut peguruan tinggi untuk siap merespons era revolusi industri 4.0 dengan baik.

“Seperti halnya untuk linearitas prodi yang masih kaku. Walaupun Pak Nasir (Menristektikdi) sudah relatif open minded, tetap saja masih lambat. Bahkan ide perubahan dari menteri sendiri lambat dieksekusi. Padahal presiden bukan sekali dan dua kali mengimbau perguruan tinggi harus adaptif dengan tuntutan zaman,” kata Edy.

Ia menegaskan, jika tak ada pembenahan dari sisi regulasi, maka perguruan tinggi akan kesulitan dalam menghadapi perubahan. Ia sepakat dengan Aptisi bahwa salah satu regulasi yang harus segera direvisi adalah terkait penutupan dan pembukaan prodi baru.

“Silakan tanya ke semua rektor, perizinan (prodi) sangat lambat. Akibatnya perguruan tinggi sering mencari berbagai cara agar pendirian prodi bisa cepat karena prosesnya sangat lama. Kemenristekdikti super birokratif,” ujarnya.

Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Dwia Aries Tina Palubuhu mengatakan, pembukaan prodi baru merupakan salah satu inovasi dari perguruan tinggi dalam mempersiapkan generasi muda yang kompeten di masa mendatang. Kendati demikian, pembukaan prodi juga harus ditunjang oleh kompetensi dari para dosennya. “Syarat pembukaan prodi dengan minimal enam tenaga ahli dari berbagai bidang yang sulit terwujud,” ucap Dwia.

Ia menyatakan, selain membuka prodi, masih banyak cara untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Di antaranya kolaborasi metode pendidikan antarperguruan tinggi bebasis pemanfaatan teknologi, yakni pendidikan jarak jauh (PJJ). Dengan demikian, krisis jumlah dosen dan tenaga ahli dalam bidang prodi baru bisa teratasi.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2yjwD3P
via IFTTT

Minggu, 14 Oktober 2018

Hasil Survei, Generasi Muda Indonesia Lebih Optimistis Ketimbang Singapura

Ilustrasi

GENERASI  muda Indonesia lebih optimistis dibandingkan dengan Singapura dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey mensurvei, sebesar 54% anak Indonesia (generasi Z dan milenial) yakin penetrasi teknologi dan internet akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan.

Sementara itu, hanya 31% generasi muda Singupura yang memiliki optimisme serupa. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Daya Saing dan Inovasi Ananto Kusuma Seta menegaskan, optimisme tersebut harus dirawat dan didukung dengan kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional yang berkualitas dan relevan.

Di antaranya dengan penyelarasan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Pasalnya, kualitas sumber daya generasi muda merupakan aset masa depan perekonomian bangsa. Menurut dia, generasi muda Indonesia lebih optimistis menatap masa depan karena industri pada bidang jasa yang ada di tanah air belum sebanyak di Singapura.

“Dunia pendidikan harus memanfaatkan momentum anak muda sebagai aset luar biasa ini. Salah satunya dengan mengintegrasikan literasi digital ke dalam broad based education. Intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler,” kata Ananto dalam Seminar Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis 11 Oktober 2018.

Ia menegaskan, literasi digital menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas anak didik. Ketersediaan tablet, telfon pintar dan komputer harus didukung dengan peningkatan budaya membaca dan berpikir kritis. Pasalnya, literasi digital turut membentuk kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan kreatif.

“Literasi digital yang dibutuhkan siswa yaitu human skill. Yaitu bagaimana adab siswa dalam menggunakan media sosial, mengasah critical thinking anak, emotional inteligent, sosial inteligent serta menanamkan nilai-nilai. Tanpa literasi digital, California gagal total, Meksiko gagal total dengan program one children one tablet nya,” ujarnya.

Mapel Informatika

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud Awalludin Tjalla mengatakan, dalam mempersiapkan generasi muda era revolusi industri 4.0, mata pelajaran Informatika akan diterapkan untuk jenjang SMP dan SMA pada tahun ajaran 2019 mendatang. Kendati demikian, ketersediaan jumlah guru mata pelajaran tersebut masih jadi kendala.

“Saat ini, total guru Informatika hanya 40.000 dan guru yang tersertifikasi dan memiliki kompetensi linier hanya setengahnya atau 20.000 guru saja. Jumlah itu (40.000 guru) untuk SMP dan SMA, di satu sisi juga tidak ada penambahan guru baru,” ungkap Tjalla.

Ia menyatakan, selain guru, kendala lain yang harus segera dibenahi adalah sinkroniasi konten buku dan kompetensi dasar guru. Menurut dia, Kemendikbud masih merumuskan strategi pembelajaran Informatika yang lebih kompatibel.

“Karena selembar informasi di buku oleh guru berkompetensi baik, bisa disampaikan untuk bahan mengajar selama empat jam pelajaran. Tapi guru yang tidak kompeten seratus halaman saja bahkan belum cukup untuk sejam pelajaran,” kata dia.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2CJuQsG
via IFTTT

Ilustrasi

GENERASI  muda Indonesia lebih optimistis dibandingkan dengan Singapura dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey mensurvei, sebesar 54% anak Indonesia (generasi Z dan milenial) yakin penetrasi teknologi dan internet akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan.

Sementara itu, hanya 31% generasi muda Singupura yang memiliki optimisme serupa. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Daya Saing dan Inovasi Ananto Kusuma Seta menegaskan, optimisme tersebut harus dirawat dan didukung dengan kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional yang berkualitas dan relevan.

Di antaranya dengan penyelarasan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Pasalnya, kualitas sumber daya generasi muda merupakan aset masa depan perekonomian bangsa. Menurut dia, generasi muda Indonesia lebih optimistis menatap masa depan karena industri pada bidang jasa yang ada di tanah air belum sebanyak di Singapura.

“Dunia pendidikan harus memanfaatkan momentum anak muda sebagai aset luar biasa ini. Salah satunya dengan mengintegrasikan literasi digital ke dalam broad based education. Intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler,” kata Ananto dalam Seminar Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis 11 Oktober 2018.

Ia menegaskan, literasi digital menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas anak didik. Ketersediaan tablet, telfon pintar dan komputer harus didukung dengan peningkatan budaya membaca dan berpikir kritis. Pasalnya, literasi digital turut membentuk kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan kreatif.

“Literasi digital yang dibutuhkan siswa yaitu human skill. Yaitu bagaimana adab siswa dalam menggunakan media sosial, mengasah critical thinking anak, emotional inteligent, sosial inteligent serta menanamkan nilai-nilai. Tanpa literasi digital, California gagal total, Meksiko gagal total dengan program one children one tablet nya,” ujarnya.

Mapel Informatika

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud Awalludin Tjalla mengatakan, dalam mempersiapkan generasi muda era revolusi industri 4.0, mata pelajaran Informatika akan diterapkan untuk jenjang SMP dan SMA pada tahun ajaran 2019 mendatang. Kendati demikian, ketersediaan jumlah guru mata pelajaran tersebut masih jadi kendala.

“Saat ini, total guru Informatika hanya 40.000 dan guru yang tersertifikasi dan memiliki kompetensi linier hanya setengahnya atau 20.000 guru saja. Jumlah itu (40.000 guru) untuk SMP dan SMA, di satu sisi juga tidak ada penambahan guru baru,” ungkap Tjalla.

Ia menyatakan, selain guru, kendala lain yang harus segera dibenahi adalah sinkroniasi konten buku dan kompetensi dasar guru. Menurut dia, Kemendikbud masih merumuskan strategi pembelajaran Informatika yang lebih kompatibel.

“Karena selembar informasi di buku oleh guru berkompetensi baik, bisa disampaikan untuk bahan mengajar selama empat jam pelajaran. Tapi guru yang tidak kompeten seratus halaman saja bahkan belum cukup untuk sejam pelajaran,” kata dia.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2CJuQsG
via IFTTT

Guru Diminta Junjung Netralitas Ketika Mengajar

Ilustrasi.(prioritaspendidikan.org)

KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong kepala-kepala Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk mengingatkan kepala-kepala sekolah dan para pendidik maupun tenaga kependidikan untuk bersikap netral dalam Pemilu 2019, baik Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pilpres. Baik para pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun non-PNS.

Hal itu berkaitan dengan adanya laporan kasus guru agama berinisial N di SMA Negeri 87 Jakarta yang diduga menyampaikan pandangan politiknya, dan ujaran kebencian terhadap capres tertentu di ruang kelas. N dituduh salah satu orangtua murid tidak bersikap netral karena menyampaikan pandangan politiknya untuk mempengaruhi peserta didiknya memilih calon tertentu. Modusnya, N memutarkan  video gempa di Palu, Sulawesi Tengah dalam proses pembelajarannya saat membahas materi sholat jenazah dan N dituduh menyebut banyak korban gempa dan Tsunami yang meninggal akibat Jokowi.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Lystiarti menilai apa yang dilakukan guru tersebut sudah di luar kewajaran dan telah menyalahi aturan. Karena, selayaknya seorang guru seharusnya dia menjunjung tinggi netralitas ketika mengajar.

“Jadi kami mendorong para guru, baik guru PNS maupun Non PNS untuk mematuhi ketentuan bahwa lembaga pendidikan (sekolah) haruslah bersih atau steril dari kepentingan politik dan politik praktis. Anak-anak harus dilindungi dari pengaruh buruk berupa ujaran kebencian. Anak-anak seharusnya dipertontonkan demokrasi yang terbuka, jujur dan menghargai HAM siapapun. Ini sangat strategis dalam memperkuat demokrasi dan nilai-nilai kemanusian,” kata Retno melalui pesan tertulis kepada Republika, Ahad (14/10).

KPAI, lanjut Retno, juga sangat mengapresiasi Kepala SMAN 87 Jakarta dan Sudin Dikmen Wilayah I Jakarta Selatan yang sudah menjalankan tugas dan fungsinya dan dengan cepat menangani kasus ini,  memproses dan membina guru N. Karenanya sebagai pembelajaran bagi para pendidik di Indonesia, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi  DKI Jakarta untuk memproses kasus guru N dengan tetap memberikan kesempatan kepada guru N menyampaikan klarifikasi dan pembelaan diri sebagaimana di atur dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sebelum dijatuhi sanksi sesuai ketentuan PP No. 53 tahun 2010.

“Karena mau bagaimanapun asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan. Nantinya dari hasil pemeriksaan,  jika terbukti bersalah maka penegakan aturan tentu harus dilaksanakan,” tegas Ratna.

Kasus serupa juga diterima KPAI dari orangtua siswa pada salah satu SD swasta di Bekasi Provinsi Jawa Barat, diduga seorang guru yang baru dilantik sebagai Kepala Sekolah memulai pidato pertamanya saat upacara dengan ajakan jangan memilih capres tertentu dihadapan pendidik dan peserta didik sekolah tersebut,  padahal yang bersangkutan kepala sekolah jenjang SD (Sekolah Dasar).

KPAI juga menerima laporan seorang guru yang mengirimkan screen shoot percakapan grup para guru di sekolahnya (SMA Negeri), dimana  yang bersangkutan kebetulan juga masuk ke dalam grup tersebut. Para guru dalam grup  tersebut hampir setiap hari mengirimkan berbagai postingan dan berbagai link berita yang menyudutkan penguasa, bahkan kerap mengarah pada ujaran kebencian terhadap capres tertentu.

Karena ujaran kebencian di posting hampir setiap hari oleh para anggota grup secara bergantian, maka si pelapor menjadi khawatir jika pandangan politik dan kebencian para guru tersebut berpotensi akan di sampaikan juga ke ruang-ruang kelas saat mereka mengajar.

Beberapa kasus tersebut menunjukkan bahwa sebagai pendidik kerap lupa kalau pada posisinya sebagai guru haruslah netral. “Guru seharusnya tidak membawa pandangan politiknya ke dalam kelas, apalagi jika dibumbui dengan ujaran kebencian pada calon tertentu. Guru harus memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik kepada murid-muridnya karena dia adalah model yang ditiru oleh peserta didiknya,” tegas Retno.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2QQukMl
via IFTTT

Ilustrasi.(prioritaspendidikan.org)

KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong kepala-kepala Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk mengingatkan kepala-kepala sekolah dan para pendidik maupun tenaga kependidikan untuk bersikap netral dalam Pemilu 2019, baik Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pilpres. Baik para pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun non-PNS.

Hal itu berkaitan dengan adanya laporan kasus guru agama berinisial N di SMA Negeri 87 Jakarta yang diduga menyampaikan pandangan politiknya, dan ujaran kebencian terhadap capres tertentu di ruang kelas. N dituduh salah satu orangtua murid tidak bersikap netral karena menyampaikan pandangan politiknya untuk mempengaruhi peserta didiknya memilih calon tertentu. Modusnya, N memutarkan  video gempa di Palu, Sulawesi Tengah dalam proses pembelajarannya saat membahas materi sholat jenazah dan N dituduh menyebut banyak korban gempa dan Tsunami yang meninggal akibat Jokowi.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Lystiarti menilai apa yang dilakukan guru tersebut sudah di luar kewajaran dan telah menyalahi aturan. Karena, selayaknya seorang guru seharusnya dia menjunjung tinggi netralitas ketika mengajar.

“Jadi kami mendorong para guru, baik guru PNS maupun Non PNS untuk mematuhi ketentuan bahwa lembaga pendidikan (sekolah) haruslah bersih atau steril dari kepentingan politik dan politik praktis. Anak-anak harus dilindungi dari pengaruh buruk berupa ujaran kebencian. Anak-anak seharusnya dipertontonkan demokrasi yang terbuka, jujur dan menghargai HAM siapapun. Ini sangat strategis dalam memperkuat demokrasi dan nilai-nilai kemanusian,” kata Retno melalui pesan tertulis kepada Republika, Ahad (14/10).

KPAI, lanjut Retno, juga sangat mengapresiasi Kepala SMAN 87 Jakarta dan Sudin Dikmen Wilayah I Jakarta Selatan yang sudah menjalankan tugas dan fungsinya dan dengan cepat menangani kasus ini,  memproses dan membina guru N. Karenanya sebagai pembelajaran bagi para pendidik di Indonesia, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi  DKI Jakarta untuk memproses kasus guru N dengan tetap memberikan kesempatan kepada guru N menyampaikan klarifikasi dan pembelaan diri sebagaimana di atur dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sebelum dijatuhi sanksi sesuai ketentuan PP No. 53 tahun 2010.

“Karena mau bagaimanapun asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan. Nantinya dari hasil pemeriksaan,  jika terbukti bersalah maka penegakan aturan tentu harus dilaksanakan,” tegas Ratna.

Kasus serupa juga diterima KPAI dari orangtua siswa pada salah satu SD swasta di Bekasi Provinsi Jawa Barat, diduga seorang guru yang baru dilantik sebagai Kepala Sekolah memulai pidato pertamanya saat upacara dengan ajakan jangan memilih capres tertentu dihadapan pendidik dan peserta didik sekolah tersebut,  padahal yang bersangkutan kepala sekolah jenjang SD (Sekolah Dasar).

KPAI juga menerima laporan seorang guru yang mengirimkan screen shoot percakapan grup para guru di sekolahnya (SMA Negeri), dimana  yang bersangkutan kebetulan juga masuk ke dalam grup tersebut. Para guru dalam grup  tersebut hampir setiap hari mengirimkan berbagai postingan dan berbagai link berita yang menyudutkan penguasa, bahkan kerap mengarah pada ujaran kebencian terhadap capres tertentu.

Karena ujaran kebencian di posting hampir setiap hari oleh para anggota grup secara bergantian, maka si pelapor menjadi khawatir jika pandangan politik dan kebencian para guru tersebut berpotensi akan di sampaikan juga ke ruang-ruang kelas saat mereka mengajar.

Beberapa kasus tersebut menunjukkan bahwa sebagai pendidik kerap lupa kalau pada posisinya sebagai guru haruslah netral. “Guru seharusnya tidak membawa pandangan politiknya ke dalam kelas, apalagi jika dibumbui dengan ujaran kebencian pada calon tertentu. Guru harus memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik kepada murid-muridnya karena dia adalah model yang ditiru oleh peserta didiknya,” tegas Retno.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2QQukMl
via IFTTT

Sabtu, 13 Oktober 2018

Target Merger 200 PTS Tidak Berjalan Mulus

Ilustrasi (kimochiku.blogspot.com)

TARGET penggabungan (merger) 200 perguruan tinggi swasta (PTS) kecil pada tahun ini nampaknya tidak berjalan mulus. Pasalnya, per Oktober ini baru sekitar 100 PTS yang berhasil dimerger.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengakui, proses penggabungan PTS kecil yang dinaungi oleh yayasan berbeda sangat sulit karena masing-masing yayasan memiliki kepentingan. Untuk 100 PTS yang sudah dimerger saja, kata dia, mayoritas adalah PTS yang bernaung pada satu yayasan yang sama.

Meski begitu dia bertekad terus mendorong PTS untuk mau melakukan merger, dan menanggalkan kepentingan masing-masing. Karena tegas dia, merger dilakukan demi kepentingan bangsa dan kemajuan pendidikan tinggi. Merger juga, tambah Nasir, akan mampu meningkatkan pelayanan dan kualitas mutu pendidikan di PTS.

“Kalau satu yayasan itu tidak ada masalah, tapi jika beda yayasan itu mereka beda kepentingan. Ini yang menjadi hambatan, ke depan kita akan terus dorong,” tegas Nasir.

Menurut dia, penggabungan PTS kecil merupakan satu dari empat prioritas Kemenristekdikti. Karena jumlah PTS yang terlalu banyak berpotensi merugikan masyarakat karena kualitas pendidikannya tidak memenuhi standar.

Diketahui, hingga 2017 tercatat ada 3.128 kampus di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan hingga tahun 2019, sebanyak seribu PTS kecil akan digabungkan atau ditutup. Adapun target 2018, setidaknya 200 PTS dapat dimerger.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2CMrCEG
via IFTTT

Ilustrasi (kimochiku.blogspot.com)

TARGET penggabungan (merger) 200 perguruan tinggi swasta (PTS) kecil pada tahun ini nampaknya tidak berjalan mulus. Pasalnya, per Oktober ini baru sekitar 100 PTS yang berhasil dimerger.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengakui, proses penggabungan PTS kecil yang dinaungi oleh yayasan berbeda sangat sulit karena masing-masing yayasan memiliki kepentingan. Untuk 100 PTS yang sudah dimerger saja, kata dia, mayoritas adalah PTS yang bernaung pada satu yayasan yang sama.

Meski begitu dia bertekad terus mendorong PTS untuk mau melakukan merger, dan menanggalkan kepentingan masing-masing. Karena tegas dia, merger dilakukan demi kepentingan bangsa dan kemajuan pendidikan tinggi. Merger juga, tambah Nasir, akan mampu meningkatkan pelayanan dan kualitas mutu pendidikan di PTS.

“Kalau satu yayasan itu tidak ada masalah, tapi jika beda yayasan itu mereka beda kepentingan. Ini yang menjadi hambatan, ke depan kita akan terus dorong,” tegas Nasir.

Menurut dia, penggabungan PTS kecil merupakan satu dari empat prioritas Kemenristekdikti. Karena jumlah PTS yang terlalu banyak berpotensi merugikan masyarakat karena kualitas pendidikannya tidak memenuhi standar.

Diketahui, hingga 2017 tercatat ada 3.128 kampus di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan hingga tahun 2019, sebanyak seribu PTS kecil akan digabungkan atau ditutup. Adapun target 2018, setidaknya 200 PTS dapat dimerger.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2CMrCEG
via IFTTT

Ribuan Ruang Kelas SD dan SMP di Bandung Barat Rusak

Ilustrasi Kelas Rusak (sukabumizone.com)

RIBUAN ruang kelas di SD dan SMP yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat mengalami rusak berat dan rusak sedang. Untuk merehab ruang-ruang kelas yang rusak tersebut, diperlukan anggaran puluhan miliar rupiah.

Kepala Disdik KBB Imam Santoso menyebutkan, SD di KBB terdapat 672 ruang kelas yang rusak berat dan 765 ruang kelas rusak sedang. Sementara di SMP terdapat 361 ruang kelas rusak berat dan 192 ruang kelas rusak sedang. Belum ditambah ruang kelas yang rusak ringan, diperlukan anggaran yang besar untuk memperbaikinya.

“Buat memperbaiki ruang yang rusak berat itu anggarannya sekitar Rp 90 jutaan, sedangkan yang rusak sedang Rp 60 jutaan. Tinggal dikalikan saja berapa biaya yang diperlikan. Yang rusak berat itu tingkat kerusakannya di atas 60 persen, jadi sudah cukup berbahaya,” kata Imam di Cisarua, Selasa 9 Oktober 2018.

Tanpa menyebutkan anggaran yang dialokasikan, menurut dia, setiap tahun Disdik berupaya mengurangi jumlah ruang kelas yang mengalami kerusakan. Anggarannya, kata dia, berasal dari APBD maupun dana alokasi khusus (DAK). “Dari DAK itu kan ada untuk ruang kelas baru, rehab kelas, dan untuk lain-lain,” ujarnya.

Selain merehab ruang kelas yang sudah direncanakan, Imam menyatakan, Disdik pun langsung merespons atap teras ruang kelas yang ambruk di SD Rajamandala 4. Atap teras ruang sekolah yang berlokasi di kawasan PTPN VIII, Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat, itu ambruk pada Senin 8 Oktober 2018.

“Begitu mendengar informasi tersebut, saya langsung berkoordinasi dengan Kepala Bidang SD serta kepala sekolah. Tadi pagi sudah ada tim yang meninjau ke lokasi. Kami akan segera mempersiapkan untuk proses perbaikan atau pembangunan ulang,” tuturnya.

Insiden atap teras SD Rajamandala 4 yang ambruk itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa, karena terjadi sekitar pukul 13.30 ketika aktivitas belajar siswa baru selesai. Bagian atap yang ambruk berukuran sekitar 6×3 meter, sementara atap bangunan kelas masih tetap utuh.

Menurut Kepala SD Rajamandala 4 Iwan Suprihat, atap teras ruang kelas yang ambruk itu merupakan bangunan lama, yang sudah dibangun lebih dari 15 tahun lalu. Selama ini belum pernah dilakukan rehab, dan pihak sekolah sudah mengkhawatirkannya. “Kejadiannya siang, setelah siswa bubar sekolah. Jadi tidak ada korban jiwa,” ujarnya.

Menurut dia, ruang kelas tersebut digunakan untuk siswa kelas 1, yang berjumlah 22 orang. Di barisan atap bangunan yang ambruk juga terdapat ruangan lainnya, yang dipakai untuk UKS, ruang kepala sekolah, dan dapur. “Tiga ruangan itu memang sudah tua dan perlu direhab. Di awal tahun ini ada konsultan yang memantau untuk bantuan rehab, tapi belum sempat ditindaklanjutu,” katanya.

Akibat insiden ini, kegiatan belajar kemudian dilakukan dengan sistem shift, khususnya untuk anak-anak kelas 1. Iwan menyebutkan, di SD Rajamanda 4 total ada 12 ruangan, termasuk 8 ruang kelas. Ruang kelas itu digunakan oleh total 279 siswa. “Kami manfaatkan kelas yang ada. Jadi pakai sistem sekolah pagi dan siang,” katanya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2pPuMii
via IFTTT

Ilustrasi Kelas Rusak (sukabumizone.com)

RIBUAN ruang kelas di SD dan SMP yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat mengalami rusak berat dan rusak sedang. Untuk merehab ruang-ruang kelas yang rusak tersebut, diperlukan anggaran puluhan miliar rupiah.

Kepala Disdik KBB Imam Santoso menyebutkan, SD di KBB terdapat 672 ruang kelas yang rusak berat dan 765 ruang kelas rusak sedang. Sementara di SMP terdapat 361 ruang kelas rusak berat dan 192 ruang kelas rusak sedang. Belum ditambah ruang kelas yang rusak ringan, diperlukan anggaran yang besar untuk memperbaikinya.

“Buat memperbaiki ruang yang rusak berat itu anggarannya sekitar Rp 90 jutaan, sedangkan yang rusak sedang Rp 60 jutaan. Tinggal dikalikan saja berapa biaya yang diperlikan. Yang rusak berat itu tingkat kerusakannya di atas 60 persen, jadi sudah cukup berbahaya,” kata Imam di Cisarua, Selasa 9 Oktober 2018.

Tanpa menyebutkan anggaran yang dialokasikan, menurut dia, setiap tahun Disdik berupaya mengurangi jumlah ruang kelas yang mengalami kerusakan. Anggarannya, kata dia, berasal dari APBD maupun dana alokasi khusus (DAK). “Dari DAK itu kan ada untuk ruang kelas baru, rehab kelas, dan untuk lain-lain,” ujarnya.

Selain merehab ruang kelas yang sudah direncanakan, Imam menyatakan, Disdik pun langsung merespons atap teras ruang kelas yang ambruk di SD Rajamandala 4. Atap teras ruang sekolah yang berlokasi di kawasan PTPN VIII, Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat, itu ambruk pada Senin 8 Oktober 2018.

“Begitu mendengar informasi tersebut, saya langsung berkoordinasi dengan Kepala Bidang SD serta kepala sekolah. Tadi pagi sudah ada tim yang meninjau ke lokasi. Kami akan segera mempersiapkan untuk proses perbaikan atau pembangunan ulang,” tuturnya.

Insiden atap teras SD Rajamandala 4 yang ambruk itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa, karena terjadi sekitar pukul 13.30 ketika aktivitas belajar siswa baru selesai. Bagian atap yang ambruk berukuran sekitar 6×3 meter, sementara atap bangunan kelas masih tetap utuh.

Menurut Kepala SD Rajamandala 4 Iwan Suprihat, atap teras ruang kelas yang ambruk itu merupakan bangunan lama, yang sudah dibangun lebih dari 15 tahun lalu. Selama ini belum pernah dilakukan rehab, dan pihak sekolah sudah mengkhawatirkannya. “Kejadiannya siang, setelah siswa bubar sekolah. Jadi tidak ada korban jiwa,” ujarnya.

Menurut dia, ruang kelas tersebut digunakan untuk siswa kelas 1, yang berjumlah 22 orang. Di barisan atap bangunan yang ambruk juga terdapat ruangan lainnya, yang dipakai untuk UKS, ruang kepala sekolah, dan dapur. “Tiga ruangan itu memang sudah tua dan perlu direhab. Di awal tahun ini ada konsultan yang memantau untuk bantuan rehab, tapi belum sempat ditindaklanjutu,” katanya.

Akibat insiden ini, kegiatan belajar kemudian dilakukan dengan sistem shift, khususnya untuk anak-anak kelas 1. Iwan menyebutkan, di SD Rajamanda 4 total ada 12 ruangan, termasuk 8 ruang kelas. Ruang kelas itu digunakan oleh total 279 siswa. “Kami manfaatkan kelas yang ada. Jadi pakai sistem sekolah pagi dan siang,” katanya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2pPuMii
via IFTTT

Jumat, 12 Oktober 2018

49 Ribu Sekolah di Tanah Air Belum Tersentuh Internet

lustrasi – sejumlah siswa SD mencari bahan tugas di mobil pusat layanan internet, di halaman sekolah .(antaranews.com)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mendorong kepedulian pemerintah daerah memperluas akses teknologi informasi (TI) di sekolah-sekolah di daerah. Pasalnya, hingga kini masih ada 49 ribuan sekolah di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal (3T) yang belum tersentuh TI.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi menyatakan, kepedulian Pemda diyakini akan mempercepat pengadaan TI di ribuan sekolah tersebut. Sehingga, anak-anak yang bersekolah di daerah 3T bisa segera mendapat akses internet.

“Tentu kami juga di pusat, Kemendikbud berkoordinasi dengan Kemenkominfo dan BUMN terus mengupayakan sehingga yang 49 ribu itu bisa berkurang,” kata Didik kepada Republika.co.id, Sabtu (13/10).

Didik menyebutkan, kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi untuk dunia pendidikan sulit dihindari. Selain tuntutan kemajuan zaman, juga karena kondisi negara Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Maka, TI merupakan salah satu solusi terhadap proses pembelajaran yang bermutu.

“Tentu dengan TI itu semua bisa dilakukan. Semua bisa dijangkau dengan internet jadi diharapkan pemerataan pendidikan itu dapat terwujud,” kata Didik.

Di sisi lain, dia juga mendorong agar guru terus berinovasi dan menggali kompetensinya masing-masing. Sebab meski teknologi semakin maju, sosok guru tetap penting untuk pemajuan pendidikan. Hanya saja perannya berubah, dari yang tadinya berperan sebagai sumber pembelajaran, nanti menjadi fasilitator atau mentor saja.

“Satu yang tidak bisa diganti dengan TI, yaitu inspirasi. Di situ lah yang mesti digali dan dimiliki guru nanti,” kata Didik.

Sebelumnya, Kemendikbud juga telah memberikan penghargaan Anugerah Kita Harus Belajar (Kihajar) 2018 kepada lima gubernur, tujuh wali kota dan empat bupati, yang berprestasi dalam memajukan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pendidikan di daerahnya masing-masing. Penghargaan tersebut diberikan oleh Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Didik Suhardi, pada Malam Anugerah Kihajar ke-7 tahun 2018, di Jakarta, Jumat (12/10).

Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada para pemenang Kuis Kihajar, Lomba Mobile Kihajar, Radio Peduli Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklomedia, Membatik (membuat bahan belajar berbasis TIK), serta Duta Rumah Belajar.

Anugerah Kihajar tahun 2018 mengangkat tema “Pendayagunaan TIK Pendidikan dan Kebudayaan dalam Menyiapkan Generasi Milenial Menghadapi Revolusi Industri 4.0”. Dengan tema tersebut diharapkan Anugerah Kihajar dapat menjadi tolok ukur perkembangan TIK untuk pendidikan di Indonesia.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2CcVWah
via IFTTT

lustrasi – sejumlah siswa SD mencari bahan tugas di mobil pusat layanan internet, di halaman sekolah .(antaranews.com)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mendorong kepedulian pemerintah daerah memperluas akses teknologi informasi (TI) di sekolah-sekolah di daerah. Pasalnya, hingga kini masih ada 49 ribuan sekolah di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal (3T) yang belum tersentuh TI.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi menyatakan, kepedulian Pemda diyakini akan mempercepat pengadaan TI di ribuan sekolah tersebut. Sehingga, anak-anak yang bersekolah di daerah 3T bisa segera mendapat akses internet.

“Tentu kami juga di pusat, Kemendikbud berkoordinasi dengan Kemenkominfo dan BUMN terus mengupayakan sehingga yang 49 ribu itu bisa berkurang,” kata Didik kepada Republika.co.id, Sabtu (13/10).

Didik menyebutkan, kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi untuk dunia pendidikan sulit dihindari. Selain tuntutan kemajuan zaman, juga karena kondisi negara Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Maka, TI merupakan salah satu solusi terhadap proses pembelajaran yang bermutu.

“Tentu dengan TI itu semua bisa dilakukan. Semua bisa dijangkau dengan internet jadi diharapkan pemerataan pendidikan itu dapat terwujud,” kata Didik.

Di sisi lain, dia juga mendorong agar guru terus berinovasi dan menggali kompetensinya masing-masing. Sebab meski teknologi semakin maju, sosok guru tetap penting untuk pemajuan pendidikan. Hanya saja perannya berubah, dari yang tadinya berperan sebagai sumber pembelajaran, nanti menjadi fasilitator atau mentor saja.

“Satu yang tidak bisa diganti dengan TI, yaitu inspirasi. Di situ lah yang mesti digali dan dimiliki guru nanti,” kata Didik.

Sebelumnya, Kemendikbud juga telah memberikan penghargaan Anugerah Kita Harus Belajar (Kihajar) 2018 kepada lima gubernur, tujuh wali kota dan empat bupati, yang berprestasi dalam memajukan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pendidikan di daerahnya masing-masing. Penghargaan tersebut diberikan oleh Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Didik Suhardi, pada Malam Anugerah Kihajar ke-7 tahun 2018, di Jakarta, Jumat (12/10).

Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada para pemenang Kuis Kihajar, Lomba Mobile Kihajar, Radio Peduli Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklomedia, Membatik (membuat bahan belajar berbasis TIK), serta Duta Rumah Belajar.

Anugerah Kihajar tahun 2018 mengangkat tema “Pendayagunaan TIK Pendidikan dan Kebudayaan dalam Menyiapkan Generasi Milenial Menghadapi Revolusi Industri 4.0”. Dengan tema tersebut diharapkan Anugerah Kihajar dapat menjadi tolok ukur perkembangan TIK untuk pendidikan di Indonesia.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2CcVWah
via IFTTT

Bandung dan Jawa Barat Raih Penghargaan Kihajar

GUBERNUR  Jawa Barat Muhammad Ridwan Kamil dan Wali Kota Bandung Oded Muhamad Danial menerima penghargaan Kita Harus Belajar (Kihajar) kategori utama 2018 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. RK dan Oded dianggap berhasil membenahi kualitas pendidikan dasar dan menengah dengan memanfaatkan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Selain kepada RK dan Oded, Kemendikbud juga memberikan panghargaan kategori utama kepada gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Pada tahun ini, ada 5 gubernur, 7 wali kota dan 4 bupati yang menerima penghargaan Kihajar. Pada Kihajar 2017, Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung masing-masing menerima kategori madya.

“Alhamdulillah Jabar sekarang meraih penghargaan tertinggi. Salah satu penilainnya karena Jabar mampu menyelenggarakan PPDB secara online dengan baik, hampir tanpa kendala. Banyak program inovatif lain di bidang pendidikan yang mengandalkan TIK. Untuk mempertahankan raihan ini, tahun depan tentu dengan arahan dari bapak Ridwan Kamil, kami harus mempersiapkan hal-hal yang lebih detil lagi,” kata Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, pada Malam Anugerah Kihajar ke-7, di Jakarta, Jumat 12 Oktober 2018.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi mengatakan, pemanfaatan TIK menjadi fondasi dalam membangun pendidikan yang berdaya saing global. Menurut dia, penganugerahan Kihajar diharapkan dapat memacu para kepala daerah untuk konsisten menyelenggarakan pendidikan berbasis teknologi.

“Kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan sulit dihindari, selain tuntutan kemajuan zaman, juga karena kondisi negara Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau maka TIK merupakan salah satu solusi terhadap proses pembelajaran yang bermutu. Kemendikbud memberikan apresiasi kepada daerah yang sudah berupaya keras dalam memajukan pendidikan dengan mendayagunakan TIK di wilayahnya,” tutur Didik.

Siswa

Penghargaan juga diberikan kepada para guru dan siswa pemenang Kuis Kihajar, Lomba Mobile Kihajar, Radio Peduli Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklomedia, Membatik (membuat bahan belajar berbasis TIK) , serta Duta Rumah Belajar. Ia menegaskan, TIK berperan strategis dalam menghadapi revolusi industri 4.0

“Saya mengapresiasi anak-anak yang telah mengikuti kuis Kihajar tahun 2018 ini, juga kepada para guru yang telah mendidik anak-anak serta kepada teman-teman di dinas pendidikan yang telah bekerja keras menyelenggarakan Kuis Kihajar di provinsinya masing-masing,” ucap Didik.

Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) Kemendikbud Gogot Suharwoto menerangkan, anugerah Kihajar untuk gubernur, bupati/wali kota diberikan sebagai penghargaan kepada pemerintah daerah yang berprestasi dalam pendayagunaan TIK untuk pendidikan.Baik dalam pembelajaran maupun dalam kegiatan administrasi di sekolah dan lembaga pemerintah yang terkait dengan pendidikan.

Proses penilaian dilakukan sejak Juni hingga Agustus 2018 oleh tim juri dari kalangan perguruan tinggi, pakar TIK, komunitas TIK dan internal Kemendikbud. Setelah melalui proses penilaian oleh tim juri, ditetapkan nama penerima anugerah berdasarkan 4 kategori yaitu, utama, madya, pertama dan khusus.

“Saya mengucapkan selamat kepada para pimpinan daerah yang mendapatkan anugerah, dan para siswa, guru, maupun masyarakat umum yang telah mendapatkan juara. Semoga penganugerahan ini dapat memberikan motivasi bagi kepala daerah untuk terus mengoptimalkan peran TIK untuk pendidikan dan kebudayan di daerah masing-masing,” ucap Gogot.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ITBRqW
via IFTTT

GUBERNUR  Jawa Barat Muhammad Ridwan Kamil dan Wali Kota Bandung Oded Muhamad Danial menerima penghargaan Kita Harus Belajar (Kihajar) kategori utama 2018 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. RK dan Oded dianggap berhasil membenahi kualitas pendidikan dasar dan menengah dengan memanfaatkan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Selain kepada RK dan Oded, Kemendikbud juga memberikan panghargaan kategori utama kepada gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Pada tahun ini, ada 5 gubernur, 7 wali kota dan 4 bupati yang menerima penghargaan Kihajar. Pada Kihajar 2017, Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung masing-masing menerima kategori madya.

“Alhamdulillah Jabar sekarang meraih penghargaan tertinggi. Salah satu penilainnya karena Jabar mampu menyelenggarakan PPDB secara online dengan baik, hampir tanpa kendala. Banyak program inovatif lain di bidang pendidikan yang mengandalkan TIK. Untuk mempertahankan raihan ini, tahun depan tentu dengan arahan dari bapak Ridwan Kamil, kami harus mempersiapkan hal-hal yang lebih detil lagi,” kata Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, pada Malam Anugerah Kihajar ke-7, di Jakarta, Jumat 12 Oktober 2018.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi mengatakan, pemanfaatan TIK menjadi fondasi dalam membangun pendidikan yang berdaya saing global. Menurut dia, penganugerahan Kihajar diharapkan dapat memacu para kepala daerah untuk konsisten menyelenggarakan pendidikan berbasis teknologi.

“Kebutuhan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan sulit dihindari, selain tuntutan kemajuan zaman, juga karena kondisi negara Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau maka TIK merupakan salah satu solusi terhadap proses pembelajaran yang bermutu. Kemendikbud memberikan apresiasi kepada daerah yang sudah berupaya keras dalam memajukan pendidikan dengan mendayagunakan TIK di wilayahnya,” tutur Didik.

Siswa

Penghargaan juga diberikan kepada para guru dan siswa pemenang Kuis Kihajar, Lomba Mobile Kihajar, Radio Peduli Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklomedia, Membatik (membuat bahan belajar berbasis TIK) , serta Duta Rumah Belajar. Ia menegaskan, TIK berperan strategis dalam menghadapi revolusi industri 4.0

“Saya mengapresiasi anak-anak yang telah mengikuti kuis Kihajar tahun 2018 ini, juga kepada para guru yang telah mendidik anak-anak serta kepada teman-teman di dinas pendidikan yang telah bekerja keras menyelenggarakan Kuis Kihajar di provinsinya masing-masing,” ucap Didik.

Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) Kemendikbud Gogot Suharwoto menerangkan, anugerah Kihajar untuk gubernur, bupati/wali kota diberikan sebagai penghargaan kepada pemerintah daerah yang berprestasi dalam pendayagunaan TIK untuk pendidikan.Baik dalam pembelajaran maupun dalam kegiatan administrasi di sekolah dan lembaga pemerintah yang terkait dengan pendidikan.

Proses penilaian dilakukan sejak Juni hingga Agustus 2018 oleh tim juri dari kalangan perguruan tinggi, pakar TIK, komunitas TIK dan internal Kemendikbud. Setelah melalui proses penilaian oleh tim juri, ditetapkan nama penerima anugerah berdasarkan 4 kategori yaitu, utama, madya, pertama dan khusus.

“Saya mengucapkan selamat kepada para pimpinan daerah yang mendapatkan anugerah, dan para siswa, guru, maupun masyarakat umum yang telah mendapatkan juara. Semoga penganugerahan ini dapat memberikan motivasi bagi kepala daerah untuk terus mengoptimalkan peran TIK untuk pendidikan dan kebudayan di daerah masing-masing,” ucap Gogot.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ITBRqW
via IFTTT

Kamis, 11 Oktober 2018

Kemendikbud: Literasi Digital Siswa Harus Diperkuat

SDN Pasirjeungjing Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, punya cara lain dalam menumbuhkan budaya baca di masyarakat. Mereka membuat agen membaca yang diperankan para siswa.( Asop Ahmad/Siap Belajar)

MENYIAPKAN  anak agar siap menghadapi era revolusi industri, tidak cukup sekedar pengadaan tablet atau pengadaan komputer di sekolah. Karena yang lebih penting yaitu penguatan literasi digital kepada siswa.

Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kemendikbud Ananto Kusuma Seta mengatakan, literasi digital yang dibutuhkan siswa yaitu human skill. Yaitu bagaimana adab siswa dalam menggunakan media sosial, mengasah critical thinking anak, emotional inteligent, sosial inteligent serta menanamkan nilai-nilai.

“Kalifornia gagal total, Meksiko gagal total dengan program one children one tablet nya. Karena ya bukan itu yang dibutuhkan untuk 4.0 lebih pada value. Karena 4.0 sebentar lagi akan ganti 5.0, 6.0, 8.0. Akan selalu berubah, yang tidak akan berubah itu values,” jelas Ananto dalam Seminar TIK di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (11/10).

Sehingga dia menyarankan, dalam praktek mata pelajaran Informatika nanti sebaiknya satu komputer digunakan oleh tiga sampai lima anak misalnya. Sehingga anak dididik untuk bersosialisasi dan juga mengasah team work.

“Harus satu laptop banyak anak, agar anak bersosialisasi. Ada team working. Kalau satu anak satu laptop, itu keliru maka anak akan menyendiri,” jelas Ananto.

Sementara itu Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud Awalludin Tjalla mengatakan rencananya, mapel Informatika akan diterapkan untuk jenjang SMP dan SMA pada tahun ajaran 2019 mendatang. Dia mengaku, masih memiliki kendala terkait jumlah guru. Saat ini, total guru Informatika hanya 40 ribu dan guru yang tersertifikasi dan memiliki kompetensi linier hanya setengahnya atau 20 ribu guru saja.

“Jumlah itu (40 ribu guru) untuk SMP dan SMA, di satu sisi juga tidak ada penambahan guru baru,” ungkap Tjalla.

Merujuk pada laporan di lapangan, kata Tjalla, masih ada beberapa kendala lain seperti belum sinkronnya konten buku dan kompetensi dasar guru. Sehingga pihaknya masih perlu merumuskan strategi pembelajaran Informatika yang lebih kompatibel.

“Karena selembar informasi di buku oleg guru berkompetensi baik, bisa disampaikan (dieksplor) untuk bahan mengajar selama empat jam pelajaran. Tapi guru yang tidak kompeten seratus halaman saja bahkan belum cukup untuk sejam pelajaran,” kata dia.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2NBBrGA
via IFTTT

SDN Pasirjeungjing Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, punya cara lain dalam menumbuhkan budaya baca di masyarakat. Mereka membuat agen membaca yang diperankan para siswa.( Asop Ahmad/Siap Belajar)

MENYIAPKAN  anak agar siap menghadapi era revolusi industri, tidak cukup sekedar pengadaan tablet atau pengadaan komputer di sekolah. Karena yang lebih penting yaitu penguatan literasi digital kepada siswa.

Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kemendikbud Ananto Kusuma Seta mengatakan, literasi digital yang dibutuhkan siswa yaitu human skill. Yaitu bagaimana adab siswa dalam menggunakan media sosial, mengasah critical thinking anak, emotional inteligent, sosial inteligent serta menanamkan nilai-nilai.

“Kalifornia gagal total, Meksiko gagal total dengan program one children one tablet nya. Karena ya bukan itu yang dibutuhkan untuk 4.0 lebih pada value. Karena 4.0 sebentar lagi akan ganti 5.0, 6.0, 8.0. Akan selalu berubah, yang tidak akan berubah itu values,” jelas Ananto dalam Seminar TIK di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (11/10).

Sehingga dia menyarankan, dalam praktek mata pelajaran Informatika nanti sebaiknya satu komputer digunakan oleh tiga sampai lima anak misalnya. Sehingga anak dididik untuk bersosialisasi dan juga mengasah team work.

“Harus satu laptop banyak anak, agar anak bersosialisasi. Ada team working. Kalau satu anak satu laptop, itu keliru maka anak akan menyendiri,” jelas Ananto.

Sementara itu Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud Awalludin Tjalla mengatakan rencananya, mapel Informatika akan diterapkan untuk jenjang SMP dan SMA pada tahun ajaran 2019 mendatang. Dia mengaku, masih memiliki kendala terkait jumlah guru. Saat ini, total guru Informatika hanya 40 ribu dan guru yang tersertifikasi dan memiliki kompetensi linier hanya setengahnya atau 20 ribu guru saja.

“Jumlah itu (40 ribu guru) untuk SMP dan SMA, di satu sisi juga tidak ada penambahan guru baru,” ungkap Tjalla.

Merujuk pada laporan di lapangan, kata Tjalla, masih ada beberapa kendala lain seperti belum sinkronnya konten buku dan kompetensi dasar guru. Sehingga pihaknya masih perlu merumuskan strategi pembelajaran Informatika yang lebih kompatibel.

“Karena selembar informasi di buku oleg guru berkompetensi baik, bisa disampaikan (dieksplor) untuk bahan mengajar selama empat jam pelajaran. Tapi guru yang tidak kompeten seratus halaman saja bahkan belum cukup untuk sejam pelajaran,” kata dia.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2NBBrGA
via IFTTT

PGRI: Pendidikan Guru Harus Direvitalisasi

Guru membantu murid belajar tentang nilai tempat.(prioritaspendidikan.org)

KETUA  Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi menilai perlu ada revitalisasi ilmu pendidikan dan pendidikan guru. Karena di era digital, guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan tetapi harus menjadi motivator, mentor dan fasilitator.

“Revitalisasi itu menurut saya adalah komponen inti dari pengembangan bidang studi pendidikan,” kata Unifah dalam seminar TIK di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (11/10).

Unifah mengakui, saat ini diberbagai daerah masih banyak guru yang gagap teknologi alias gaptek. Karena itu guru-guru harus mulai disiapkan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang masif ini.

Guru, lanjut Unifah, tidak mungkin dapat bersaing dengan mesin dalam mengajar. Khususnya dalam proses belajar yang sifatnya hapalan, hitungan, proyeksi, peramalan serta mesin pencarian informasi. Karena mesin, jauh lebih cerdas, cepat dan efektif dalam mengerjakan tugas.

“Lalu peran guru bagaimana? Intinya guru harus bisa lebih cakap dalam mengubah pelajaran yang membosankan, dan mampu menciptakan proses pembelajaran yang stimulan sehingga siswa bisa cepat meresap materi,” ungkap Unifah.

Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa guru akan jauh lebih sukses jika mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial. Karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh robot.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OTlf8h
via IFTTT

Guru membantu murid belajar tentang nilai tempat.(prioritaspendidikan.org)

KETUA  Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi menilai perlu ada revitalisasi ilmu pendidikan dan pendidikan guru. Karena di era digital, guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan tetapi harus menjadi motivator, mentor dan fasilitator.

“Revitalisasi itu menurut saya adalah komponen inti dari pengembangan bidang studi pendidikan,” kata Unifah dalam seminar TIK di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (11/10).

Unifah mengakui, saat ini diberbagai daerah masih banyak guru yang gagap teknologi alias gaptek. Karena itu guru-guru harus mulai disiapkan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang masif ini.

Guru, lanjut Unifah, tidak mungkin dapat bersaing dengan mesin dalam mengajar. Khususnya dalam proses belajar yang sifatnya hapalan, hitungan, proyeksi, peramalan serta mesin pencarian informasi. Karena mesin, jauh lebih cerdas, cepat dan efektif dalam mengerjakan tugas.

“Lalu peran guru bagaimana? Intinya guru harus bisa lebih cakap dalam mengubah pelajaran yang membosankan, dan mampu menciptakan proses pembelajaran yang stimulan sehingga siswa bisa cepat meresap materi,” ungkap Unifah.

Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa guru akan jauh lebih sukses jika mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial. Karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh robot.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OTlf8h
via IFTTT

Guru Diminta Kuasai Multibahasa

Ilustrasi

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta guru mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk menguasai bahasa asing dan daerah. Dengan demikian, para guru bahasa akan mampu mengajarkan beragam jenis sastra dari berbagai bahasa.

Saat ini, menguasai multibahasa sangat penting karena berfungsi sebagai penghubung pengetahuan.

Muhadjir menegaskan, banyak sastra klasik berbahasa asing dan daerah yang akan sangat bermanfaat untuk dipelajari para anak didik. Penguasaan multibahasa dari seorang guru menjadi sangat penting agar anak didik dapat memahami pesan yang disampaikan dalam sebuah sastra.

”Guru Bahasa Indonesia juga harus menguasai bahasa daerah, dan bahasa asing. Yang bisa melestarikan bahasa daerah, ya guru bahasa Indonesia. Dan kami juga ingin agar bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa internasional,” kata Muhadjir saat membuka Konferensi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan Kongres Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI), di Jakarta, Senin, 8 Oktober 2018.

Ia menyampaikan gagasan tersebut di depan 301 orang peserta yang berasal dari 34 provinsi. Mendikbud berpesan kepada para guru yang tergabung dalam AGBSI agar mampu menjadi penghubung antara bahasa daerah dan bahasa asing.

Ia menuturkan, seorang guru Bahasa Indonesia harus menjadi pengawal, penggerak, dan penjaga harga diri bangsa dalam berbahasa. Seorang guru Bahasa Indonesia yang mengabdi di sebuah daerah, harus menguasai bahasa daerah setempat.

“Saya minta guru Bahasa Indonesia enggak hanya mengajar bahasa Indonesia saja, tetapi harus lestarikan bahasa daerah. Kita memiliki lebih dari 600 bahasa daerah, enggak mungkin membuka jurusan untuk semua bahasa daerah. Jadi peran guru Bahasa Indonesia sangat penting,” ujarnya.

Profesionalisme guru

Ia mengapresiasi semangat yang dibangun para guru yang tergabung dalam AGBSI. Ia berharap, AGBSI terus mendorong profesionalisme guru, baik dari aspek keilmuan, maupun kualitas pembelajaran, serta tanggung jawab sosial. “Kami ini sedang berjuang untuk meningkatkan profesionalisme guru,” katanya.

Muhadjir mendorong organisasi asosiasi guru, termasuk AGBSI, untuk menyusun dan menetapkan kode etik profesi guru. Juga membentuk dewan profesi. Organisasi asosiasi profesi diharapkan mampu menjaga martabat profesi.

“Asosiasi profesi itu yang mengawasi kerja sejawatnya. Seorang profesional itu harus memiliki harga diri dan kebanggaan atas profesinya, keahliannya. Nanti jika ada pelanggaran dalam praktik profesi, dewan profesilah yang melakukan pembinaan,” ucap Muhadjir.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriano menambahkan, konferensi dan kongres AGBSI ini mendorong tradisi literasi, khususnya bagi generasi milenial. Menurut dia, sebuah keberhasilan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ditandai dengan kuatnya minat baca, menulis, dan berwacana. “Hal tersebut hendaknya diikuti dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, benar, logis, santun, dan bercita rasa,” kata Supriano.

Ketua AGBSI Jajang Priatna mengungkapkan, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat penting untuk mewujudkan pendidikan karakter. Bahasa dan sastra Indonesia berkaitan langsung dengan penanaman jiwa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia. “Para guru juga berikrar untuk menjadi agen literasi bangsa dan teladan masyarakat yang literat. Dan para guru, yang menjadi perwakilan dari berbagai wilayah di Indonesia ini terus meningkatkan kompetensi literasi profesi,” ujarnya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2QPI5er
via IFTTT

Ilustrasi

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta guru mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk menguasai bahasa asing dan daerah. Dengan demikian, para guru bahasa akan mampu mengajarkan beragam jenis sastra dari berbagai bahasa.

Saat ini, menguasai multibahasa sangat penting karena berfungsi sebagai penghubung pengetahuan.

Muhadjir menegaskan, banyak sastra klasik berbahasa asing dan daerah yang akan sangat bermanfaat untuk dipelajari para anak didik. Penguasaan multibahasa dari seorang guru menjadi sangat penting agar anak didik dapat memahami pesan yang disampaikan dalam sebuah sastra.

”Guru Bahasa Indonesia juga harus menguasai bahasa daerah, dan bahasa asing. Yang bisa melestarikan bahasa daerah, ya guru bahasa Indonesia. Dan kami juga ingin agar bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa internasional,” kata Muhadjir saat membuka Konferensi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan Kongres Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI), di Jakarta, Senin, 8 Oktober 2018.

Ia menyampaikan gagasan tersebut di depan 301 orang peserta yang berasal dari 34 provinsi. Mendikbud berpesan kepada para guru yang tergabung dalam AGBSI agar mampu menjadi penghubung antara bahasa daerah dan bahasa asing.

Ia menuturkan, seorang guru Bahasa Indonesia harus menjadi pengawal, penggerak, dan penjaga harga diri bangsa dalam berbahasa. Seorang guru Bahasa Indonesia yang mengabdi di sebuah daerah, harus menguasai bahasa daerah setempat.

“Saya minta guru Bahasa Indonesia enggak hanya mengajar bahasa Indonesia saja, tetapi harus lestarikan bahasa daerah. Kita memiliki lebih dari 600 bahasa daerah, enggak mungkin membuka jurusan untuk semua bahasa daerah. Jadi peran guru Bahasa Indonesia sangat penting,” ujarnya.

Profesionalisme guru

Ia mengapresiasi semangat yang dibangun para guru yang tergabung dalam AGBSI. Ia berharap, AGBSI terus mendorong profesionalisme guru, baik dari aspek keilmuan, maupun kualitas pembelajaran, serta tanggung jawab sosial. “Kami ini sedang berjuang untuk meningkatkan profesionalisme guru,” katanya.

Muhadjir mendorong organisasi asosiasi guru, termasuk AGBSI, untuk menyusun dan menetapkan kode etik profesi guru. Juga membentuk dewan profesi. Organisasi asosiasi profesi diharapkan mampu menjaga martabat profesi.

“Asosiasi profesi itu yang mengawasi kerja sejawatnya. Seorang profesional itu harus memiliki harga diri dan kebanggaan atas profesinya, keahliannya. Nanti jika ada pelanggaran dalam praktik profesi, dewan profesilah yang melakukan pembinaan,” ucap Muhadjir.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriano menambahkan, konferensi dan kongres AGBSI ini mendorong tradisi literasi, khususnya bagi generasi milenial. Menurut dia, sebuah keberhasilan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ditandai dengan kuatnya minat baca, menulis, dan berwacana. “Hal tersebut hendaknya diikuti dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, benar, logis, santun, dan bercita rasa,” kata Supriano.

Ketua AGBSI Jajang Priatna mengungkapkan, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat penting untuk mewujudkan pendidikan karakter. Bahasa dan sastra Indonesia berkaitan langsung dengan penanaman jiwa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia. “Para guru juga berikrar untuk menjadi agen literasi bangsa dan teladan masyarakat yang literat. Dan para guru, yang menjadi perwakilan dari berbagai wilayah di Indonesia ini terus meningkatkan kompetensi literasi profesi,” ujarnya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2QPI5er
via IFTTT

Senin, 08 Oktober 2018

Kemendikbud Akan Rekrut Sarjana Pendidikan untuk Guru sementara di Lokasi Bencana

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (antaranews.com)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan akan merekrut sarjana pendidikan yang baru lulus untuk menjadi guru di lokasi bencana di Palu, Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah. Mereka akan menggantikan sementara puluhan guru yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami tersebut.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku sedang menghitung jumlah guru yang dibutuhan. Menurut dia, merekrut sarjana pendidikan menjadi opsi paling realistis jika melihat kebutuhannya yang sangat mendesak.

Ia menyatakan, ada skema lain untuk memenuhi kekurangan guru di Sulteng. Antara lain dengan mengirim guru yang direkrut melalui program Guru Garis Depan (GGD). Kemendikbud masih memverifikasi jumlah pasti guru dan siswa yang meninggal atau belum diketemukan.

“Harus mencari guru pengganti. Sarjana pendidikan yang baru lulus sebagai salah satu prospek. Sambil jalan. Ini persoalan di Sulteng pasti agak lama, dan jauh lebih lama dibandingkan Lombok. Semua upaya kami lakukan. Tapi sebagian guru sudah ada yang melapor ke sekolah siap mengajar kembali,” kata Hamid di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin 8 Oktober 2018.

Ia menjelaskan, kendati proses belajar digelar secara darurat, Kemendikbud tidak akan menerapkan kebijakan khusus seperti mengganti kurikulum. Menurut dia, kurikulum yang dijalankan saat ini, yakni Kurikulum 2013 aplikatif digelar di berbagai kondisi. “Tapi kalau ada usulan (membuat kurikulum darurat) bisa saja kami lakukan,” katanya.

Ia menuturkan, dari laporan dina pendidikan provinsi Sulteng, ada sekitar 2.300 sekolah yang hancur. Jumlah tersebut belum termasuk sekolah yang berada di Kabupaten Sigi. “Kami belum bisa masuk ke Sigi karena akses jalan putus. Kami tidak bisa menjangkau daerah yang ingin kami kunjungi,” katanya.

Kurikulum sekolah darurat bagi lokasi bencana

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Kemendikbud untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengakatan, kurikulum darurat perlu karena para siswa di lokasi bencana tak bisa belajar dengan normal.

Menurut dia, setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa pemerintah harus mengeluarkan kurikulum sekolah darurat. Yakni, ruang bekajar yang tidak nyaman, jam belajar lebih pendek karena keterbatasan ruang kelas, sistem penilaian dan prinsip keadilan bagi semua anak didik.

“Kalau di ruang kelas yang semi permanen bisa menggunakan meja dan kursi di kelas darurat, tapi kalau tenda sangat tidak memungkinkan karena sempit dan tidak tinggi. Bahkan jika hujan deras, kelas-kelas tenda akan bubar karena tenda  tertiup angina dan akan dibajiri air,” kata Retno.

Ia menegaskan, sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku. Pasalnya, selain sarana prasarana sangat minim, kondisi psikologis pendidik dan anakdidik belum stabil. Menurut dia, kurikulum sekolah darurat sangat penting dibuat karena kondisi geografis Indonesia masuk dalam kawasan rawan bencana.

“Peserta didik dan pendidik di sekolah darurat sejatinya jangan di bebani dengan beratnya kurikulum nasional yang berlaku saat ini. Sudah semestinya menyesuaikan kondisi riil mereka di lapangan. Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat,” katanya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ynWAhI
via IFTTT

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (antaranews.com)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan akan merekrut sarjana pendidikan yang baru lulus untuk menjadi guru di lokasi bencana di Palu, Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah. Mereka akan menggantikan sementara puluhan guru yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami tersebut.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku sedang menghitung jumlah guru yang dibutuhan. Menurut dia, merekrut sarjana pendidikan menjadi opsi paling realistis jika melihat kebutuhannya yang sangat mendesak.

Ia menyatakan, ada skema lain untuk memenuhi kekurangan guru di Sulteng. Antara lain dengan mengirim guru yang direkrut melalui program Guru Garis Depan (GGD). Kemendikbud masih memverifikasi jumlah pasti guru dan siswa yang meninggal atau belum diketemukan.

“Harus mencari guru pengganti. Sarjana pendidikan yang baru lulus sebagai salah satu prospek. Sambil jalan. Ini persoalan di Sulteng pasti agak lama, dan jauh lebih lama dibandingkan Lombok. Semua upaya kami lakukan. Tapi sebagian guru sudah ada yang melapor ke sekolah siap mengajar kembali,” kata Hamid di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin 8 Oktober 2018.

Ia menjelaskan, kendati proses belajar digelar secara darurat, Kemendikbud tidak akan menerapkan kebijakan khusus seperti mengganti kurikulum. Menurut dia, kurikulum yang dijalankan saat ini, yakni Kurikulum 2013 aplikatif digelar di berbagai kondisi. “Tapi kalau ada usulan (membuat kurikulum darurat) bisa saja kami lakukan,” katanya.

Ia menuturkan, dari laporan dina pendidikan provinsi Sulteng, ada sekitar 2.300 sekolah yang hancur. Jumlah tersebut belum termasuk sekolah yang berada di Kabupaten Sigi. “Kami belum bisa masuk ke Sigi karena akses jalan putus. Kami tidak bisa menjangkau daerah yang ingin kami kunjungi,” katanya.

Kurikulum sekolah darurat bagi lokasi bencana

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Kemendikbud untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengakatan, kurikulum darurat perlu karena para siswa di lokasi bencana tak bisa belajar dengan normal.

Menurut dia, setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa pemerintah harus mengeluarkan kurikulum sekolah darurat. Yakni, ruang bekajar yang tidak nyaman, jam belajar lebih pendek karena keterbatasan ruang kelas, sistem penilaian dan prinsip keadilan bagi semua anak didik.

“Kalau di ruang kelas yang semi permanen bisa menggunakan meja dan kursi di kelas darurat, tapi kalau tenda sangat tidak memungkinkan karena sempit dan tidak tinggi. Bahkan jika hujan deras, kelas-kelas tenda akan bubar karena tenda  tertiup angina dan akan dibajiri air,” kata Retno.

Ia menegaskan, sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku. Pasalnya, selain sarana prasarana sangat minim, kondisi psikologis pendidik dan anakdidik belum stabil. Menurut dia, kurikulum sekolah darurat sangat penting dibuat karena kondisi geografis Indonesia masuk dalam kawasan rawan bencana.

“Peserta didik dan pendidik di sekolah darurat sejatinya jangan di bebani dengan beratnya kurikulum nasional yang berlaku saat ini. Sudah semestinya menyesuaikan kondisi riil mereka di lapangan. Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat,” katanya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ynWAhI
via IFTTT

Minggu, 07 Oktober 2018

‘Tugas Guru Bukan Hanya Mengajar’

Buku besar yang digunakan guru sebagai media pembelajaran mempelajari benda yang mudah bergerak dan tidak mudah bergerak.(prioritaspendidikan.org)

TANGGAL 5 Oktober lalu diperingati Hari Guru Sedunia (World Teachers Day). Pada peringatan yang ke-24 tahun tersebut, masih ditemui banyak pekerjaan rumah bagi profesi mulia ini di Indonesia, salah satunya adalah persoalan kompetensi dan kesejahteraan.

Menurut pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal, tugas guru masa depan tidak hanya terfokus pada kompetensi pengajaran. Sehingga, skill yang harus mereka tingkatkan di tengah lubernya informasi adalah kemampuan mendengarkan serta memahami kebutuhan setiap muridnya di kelas.

“Guru harus dilatih memunculkan empatinya. Sehingga tugasnya bukan hanya mengajar melainkan bersama-sama muridnya belajar memecahkan setiap persoalan yang dijumpai baik dari tingkatan termudah hingga kompleks,” kata Rizal kepada Republika akhir pekan lalu.

Menurut Rizal, kemampuan mendengarkan dan memahami akan membantu guru memiliki kemampuan sosial untuk membangun semacam koalisi dengan muridnya menghadapi setiap persoalan hingga tantangan masa depan.

“Mereka tidak hanya belajar tekstual di buku, namun kontekstual sehingga ruang kelas akan hidup, penuh inspirasi serta antusiasme belajar murid maupun guru semakin tinggi,” kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.

Rizal memaparkan, kemampuan mendengarkan dan memahami akan menciptakan lingkungan atau ekosistem belajar yang saling mendukung, berbagi sekaligus membangun optimisme dan harapan yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan akademis, karakter positif, hingga kegigihan siswa untuk mencapai cita-cita jangka panjangnya,” katanya.

Perubahan paradigma

Psikolog UGM, Novi Candra, menambahkan isu tentang kesejahteraan atau kompetensi mengajar guru memang perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini. Akan tetapi terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan.

“Saya kira hal krusial lain yang selalu terlewatkan dalam konteks Indonesia adalah shifting paradigma, dimana tugas guru bukanlah mengerti mengenai konten materi pelajaran namun mengerti dan memahami siswanya,” katanya.

Menurut Novi, paradigma saat ini yakni guru harus menguasai materi pembelajaran membuat fokus pengembangan guru hanya berkutat pada kompetensi metodologi pembelajaran serta tugas administrasi yang menumpuk.

“Padahal justru yang paling penting saat ini adalah pengembangan guru untuk berkomunikasi pada siswanya, memanajemen kelas, memberikan motivasi serta inspirasi dan mengoptimalkan potensi setiap anak yang berbeda,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Prof Arief Rahman meminta pemerintah untuk mengevaluasi kompetensi guru. Mulai dari evaluasi kompetensi akademis, pedagogi, kompetensi metodologi, dan jasmani guru.

“Empat kompetensi itu kan harus dimiliki oleh semua guru, sehingga pemerintah harus evaluasi apakah guru-guru kita sudah menguasai empat kompetensi itu?” kata Prof Arief ketika dihubungi Republika, Kamis (4/10).

Dia menerangkan, dari sisi akademis pemerintah wajib melihat apakah pengetahuan akademik para guru sudah mumpuni atau belum. Lalu terkait kompetensi pedagogi juga perlu diukur dari ilmu mendidik para guru.

Begitupun untuk mengetahui kompetensi metodologi guru, kata Arief, pemerintah harus mengukur apakah cara mengajar seorang guru sudah menarik dan sesuai dengan lembaga pendidikan yang diajar oleh guru tersebut atau belum. (republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OascCr
via IFTTT

Buku besar yang digunakan guru sebagai media pembelajaran mempelajari benda yang mudah bergerak dan tidak mudah bergerak.(prioritaspendidikan.org)

TANGGAL 5 Oktober lalu diperingati Hari Guru Sedunia (World Teachers Day). Pada peringatan yang ke-24 tahun tersebut, masih ditemui banyak pekerjaan rumah bagi profesi mulia ini di Indonesia, salah satunya adalah persoalan kompetensi dan kesejahteraan.

Menurut pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal, tugas guru masa depan tidak hanya terfokus pada kompetensi pengajaran. Sehingga, skill yang harus mereka tingkatkan di tengah lubernya informasi adalah kemampuan mendengarkan serta memahami kebutuhan setiap muridnya di kelas.

“Guru harus dilatih memunculkan empatinya. Sehingga tugasnya bukan hanya mengajar melainkan bersama-sama muridnya belajar memecahkan setiap persoalan yang dijumpai baik dari tingkatan termudah hingga kompleks,” kata Rizal kepada Republika akhir pekan lalu.

Menurut Rizal, kemampuan mendengarkan dan memahami akan membantu guru memiliki kemampuan sosial untuk membangun semacam koalisi dengan muridnya menghadapi setiap persoalan hingga tantangan masa depan.

“Mereka tidak hanya belajar tekstual di buku, namun kontekstual sehingga ruang kelas akan hidup, penuh inspirasi serta antusiasme belajar murid maupun guru semakin tinggi,” kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.

Rizal memaparkan, kemampuan mendengarkan dan memahami akan menciptakan lingkungan atau ekosistem belajar yang saling mendukung, berbagi sekaligus membangun optimisme dan harapan yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan akademis, karakter positif, hingga kegigihan siswa untuk mencapai cita-cita jangka panjangnya,” katanya.

Perubahan paradigma

Psikolog UGM, Novi Candra, menambahkan isu tentang kesejahteraan atau kompetensi mengajar guru memang perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini. Akan tetapi terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan.

“Saya kira hal krusial lain yang selalu terlewatkan dalam konteks Indonesia adalah shifting paradigma, dimana tugas guru bukanlah mengerti mengenai konten materi pelajaran namun mengerti dan memahami siswanya,” katanya.

Menurut Novi, paradigma saat ini yakni guru harus menguasai materi pembelajaran membuat fokus pengembangan guru hanya berkutat pada kompetensi metodologi pembelajaran serta tugas administrasi yang menumpuk.

“Padahal justru yang paling penting saat ini adalah pengembangan guru untuk berkomunikasi pada siswanya, memanajemen kelas, memberikan motivasi serta inspirasi dan mengoptimalkan potensi setiap anak yang berbeda,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Prof Arief Rahman meminta pemerintah untuk mengevaluasi kompetensi guru. Mulai dari evaluasi kompetensi akademis, pedagogi, kompetensi metodologi, dan jasmani guru.

“Empat kompetensi itu kan harus dimiliki oleh semua guru, sehingga pemerintah harus evaluasi apakah guru-guru kita sudah menguasai empat kompetensi itu?” kata Prof Arief ketika dihubungi Republika, Kamis (4/10).

Dia menerangkan, dari sisi akademis pemerintah wajib melihat apakah pengetahuan akademik para guru sudah mumpuni atau belum. Lalu terkait kompetensi pedagogi juga perlu diukur dari ilmu mendidik para guru.

Begitupun untuk mengetahui kompetensi metodologi guru, kata Arief, pemerintah harus mengukur apakah cara mengajar seorang guru sudah menarik dan sesuai dengan lembaga pendidikan yang diajar oleh guru tersebut atau belum. (republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OascCr
via IFTTT

Sabtu, 06 Oktober 2018

Berpotensi Bencana Alam, Anak-anak Harus Diajarkan Tanggap Bencana

Ilustrasi.(antaranews.com)

BUNYI sirine pertanda telah terjadi gempa bumi terdengar bersahutan tengah kegiatan belajar mengajar. Anak-anak sempat histeris, ada yang menjerit-jerit, ada juga yang meneriakkan takbir, sambil berlarian dan berusaha bersembunyi di bawah meja belajar hingga di sudut-sudut ruangan.

Mereka melindungi bagian kepala dengan tas sekolah agar tak tertimpa reruntuhan. Satu persatu, mereka dibimbing para pengajar dan personil Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kota Cimahi dievakuasi dari lantai 2 bangunan ke area lapangan.

Kejadian ini menjadi bagian dari Simulasi Tanggap Darurat Bencana yang digelar SD Juara di Jalan Rorojongrang Kompleks Pharmindo Kelurahan Melong Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi, kemarin. Kegiatan dilakukan agar para siswa mengetahui potensi bencana dan upaya menyelamatkan diri saat bencana sejak dini.

Hermawan, Koordinator Psikososial Satgas Tagana Kota Cimahi, mengungkapkan simulasi kebencanaan, khususnya gempa bumi, saat penting diberikan terutama pada murid-murid sekolah dasar, di tengah ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja.

“Semakin dini seorang anak paham cara mengevakuasi diri ketika terjadi bencana, seperti gempa bumi, maka semakin kecil potensi korban jiwa yang bisa timbul pascakejadian bencana,” ujarnya.

Menurut Hermawan, murid SD penting mengetahui cara berlindung saat bencana terutama ketika mereka sedang berada jauh dari orangtua. “Saat terjadi gempa mereka harus paham dimana harus berlindung, ikuti instruksi guru dan mencari area terbuka yang tidak berpotensi tertimpa reruntuhan,” katanya.

Yang paling penting, lanjut Hermawan, selamatkan diri sendiri. “Pastikan kondisi diri tidak mengalami luka atau apapun, kalau situasi tidak memungkinkan, lebih baik segera mencari pertolongan lain. Berdoa juga agar dijauhkan dari bencana alam,” tuturnya.

Pembinaan soal bencana

Kepala Sekolah SD Juara, Nurzaman, kegiatan ini baru dilakukan kembali setelah beberapa tahun lalu. “Murid sudah berganti, saya rasa perlu ada pembinaan soal kebencanaan kepada warga sekolah. Apalagi, sedang terjadi rentetan bencana sejak di Lombok hingga Sulawesi yang sekarang terjadi dan Cimahi juga bisa berpotensi bencana alam,” ujarnya.

Dalam sepekan terakhir, para siswa juga mengumpulkan donasi untuk korban bencana di Sulawesi dengan total nilai Rp 2,5 juta. “Donasi para siswa bakal disalurkan ke lembaga Rumah Zakat. Ini sebagai bentuk kepedulian para siswa yang ingin berbagi dengan korban bencana,” ucapnya.

Dia mengatakan jajaran tenaga pengajar di sekolah juga wajib menguasai cara evakuasi diri dan para siswa yang menjadi tanggungjawabnya.

Harapannya, warga sekolah terutama anak-anak sudah lebih siap jika menghadapi bencana yang sebetulnya tidak diharapkan. “Agar mereka cukup bekal pengetahuan menghadapi bencana menghindari korban jiwa,” ucapnya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OFHz4Z
via IFTTT

Ilustrasi.(antaranews.com)

BUNYI sirine pertanda telah terjadi gempa bumi terdengar bersahutan tengah kegiatan belajar mengajar. Anak-anak sempat histeris, ada yang menjerit-jerit, ada juga yang meneriakkan takbir, sambil berlarian dan berusaha bersembunyi di bawah meja belajar hingga di sudut-sudut ruangan.

Mereka melindungi bagian kepala dengan tas sekolah agar tak tertimpa reruntuhan. Satu persatu, mereka dibimbing para pengajar dan personil Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kota Cimahi dievakuasi dari lantai 2 bangunan ke area lapangan.

Kejadian ini menjadi bagian dari Simulasi Tanggap Darurat Bencana yang digelar SD Juara di Jalan Rorojongrang Kompleks Pharmindo Kelurahan Melong Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi, kemarin. Kegiatan dilakukan agar para siswa mengetahui potensi bencana dan upaya menyelamatkan diri saat bencana sejak dini.

Hermawan, Koordinator Psikososial Satgas Tagana Kota Cimahi, mengungkapkan simulasi kebencanaan, khususnya gempa bumi, saat penting diberikan terutama pada murid-murid sekolah dasar, di tengah ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja.

“Semakin dini seorang anak paham cara mengevakuasi diri ketika terjadi bencana, seperti gempa bumi, maka semakin kecil potensi korban jiwa yang bisa timbul pascakejadian bencana,” ujarnya.

Menurut Hermawan, murid SD penting mengetahui cara berlindung saat bencana terutama ketika mereka sedang berada jauh dari orangtua. “Saat terjadi gempa mereka harus paham dimana harus berlindung, ikuti instruksi guru dan mencari area terbuka yang tidak berpotensi tertimpa reruntuhan,” katanya.

Yang paling penting, lanjut Hermawan, selamatkan diri sendiri. “Pastikan kondisi diri tidak mengalami luka atau apapun, kalau situasi tidak memungkinkan, lebih baik segera mencari pertolongan lain. Berdoa juga agar dijauhkan dari bencana alam,” tuturnya.

Pembinaan soal bencana

Kepala Sekolah SD Juara, Nurzaman, kegiatan ini baru dilakukan kembali setelah beberapa tahun lalu. “Murid sudah berganti, saya rasa perlu ada pembinaan soal kebencanaan kepada warga sekolah. Apalagi, sedang terjadi rentetan bencana sejak di Lombok hingga Sulawesi yang sekarang terjadi dan Cimahi juga bisa berpotensi bencana alam,” ujarnya.

Dalam sepekan terakhir, para siswa juga mengumpulkan donasi untuk korban bencana di Sulawesi dengan total nilai Rp 2,5 juta. “Donasi para siswa bakal disalurkan ke lembaga Rumah Zakat. Ini sebagai bentuk kepedulian para siswa yang ingin berbagi dengan korban bencana,” ucapnya.

Dia mengatakan jajaran tenaga pengajar di sekolah juga wajib menguasai cara evakuasi diri dan para siswa yang menjadi tanggungjawabnya.

Harapannya, warga sekolah terutama anak-anak sudah lebih siap jika menghadapi bencana yang sebetulnya tidak diharapkan. “Agar mereka cukup bekal pengetahuan menghadapi bencana menghindari korban jiwa,” ucapnya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OFHz4Z
via IFTTT

Kampus Guru Cikal selenggarakan Temu Pendidik Nusantara 2018

 

Ilustrasi

KAMPUS Guru Cikal menyelenggarakan Temu Pendidik Nusantara (TPN) 2018 untuk memperingati Hari Guru Internasional. Kegiatan temu pendidik nasional ini merupakan kali kelima dilaksanakan sejak tahun 2013 dan di tahun ini mengangkat tema Memanusiakan Hubungan, Mengembangkan Belajar Berkelanjutan.

Temu pendidik nusantara ini merupakan kulminasi atau puncak tertinggi dari temu pendidik daerah. Sedangkan sebelumnya komunitas guru belajar telah melakukan kegiatan sepanjang tahun yang digerakkan oleh guru-guru di 148 daerah di Indonesia.

Temu pendidik nusantara ini memiliki konsep di mana guru memiliki kesempatan untuk belajar. Tentu saja kegiatan ini pada awalnya mendapatkan kontra karena sebagian guru memiliki stereotip bahwa belajar hanya berlaku kepada siswa dan guru sebagai mediator yang akan menyampaikan ilmu ke siswa atau yang mengajar.

Meskipun begitu Ela panggilan dari Najeela mengatakan bahwa selama hampir lima tahun ini pemahaman tentang guru juga seharusnya belajar dapat diterima dengan baik terbukti dengan komunitas guru belajar yang semakin tumbuh di banyak daerah. Ela juga menyebutkan tidak banyak perbedaan dari temu pendidik nusantara ini dengan yang sebelum-sebelumnya.

“Khusus untuk tahun ini perbedaan utamanya lebih ke topik yang diangkat, yang kami angkat tahun ini memanusiakan hubungan,” kata Ela.

Oleh sebab itu pada tahun ini bukan hanya Kampus Guru Cikal atau Komunitas Guru Belajar yang banyak berbagi tapi juga guru-guru, orang tua murid, dan siswa. Karena Ela meyakini bahwa pendidikan itu tentunya berbicara kepada hubungan.

“Yang namanya edukasi itu intinya adalah relasi dan interaksi antar manusia. Nah, yang bikin susah perubahan pendidikan karena sebetulnya hubungannya kompleks banget,” kata Ela lagi.

Tentunya hal itu tidak lari dari stereotip masyarakat menjadi guru sangat susah karena tidak hanya membangun relasi dan komunikasi dengan siswa tapi dengan orang tua siswa dan dengan orang luar di dalam ekosistem pendidikan yang ada. Untuk itu dengan adanya temu pendidik nusantara dengan tema memanusiakan hubungan ini diharapkan bahwa perubahan pendidikan itu bisa dilakukan tidak hanya dari sudut kebijakan ataupun sudut konsep pengembangan guru.

Tuti seorang guru SMK berasal dari Sumatera Barat yang memiliki kesempatan untuk berbagi cerita pun mengatakan bahwa menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Ia menganggap bahwa murid adalah cerminan diri guru saat berinteraksi.

“Kalau kita guru keberhasilan kita itu karena hasil interaksi dengan murid,” tutur Tuti.

Bagi Tuti siswa adalah benda hidup yang dititipkan orang tua dan hal itu yang memberatkan seorang guru apabila tidak mengajar dan mengayomi siswa dengan benar.  Apalagi di zaman yang berbeda, di mana siswa memiliki sudut pandang di luar kotak yang bisa jadi pemikirannya bukanlah hal yang dianggap guru atau orang dewasa manapun bisa untuk dibenarkan.

“Memahami dia dulu, jadi hubungannya adalah saya masuk dunia dia, kita harus tahu mau dia apa terus kita masukkan gaya kita. Kalau sebenarnya berat karena tantangan ke depannya, namun kalau kita enjoy akhirnya yang berat menjadi mudah di antara mereka,” ujar Tuti.

Selain itu hal tersebut membenarkan bahwa siswa juga tidak sepenuhnya bisa belajar dengan gaya guru mengajar di dalam kelas dengan ketat, tentunya belajar sambil bermain dapat membuat siswa lebih santai dan mampu menerima pelajaran dan itulah esensi dari memanusiakan hubungan.

Temu pendidik nusantara dengan tema memanusiakan hubungan ini juga berangkat dari isu kegawatdaruratan pendidikan di Indonesia. Yang mana begitu banyak kasus kekerasan murid kepada guru, guru kepada murid, murid dengan murid dan tidak jarang ada yang orang tua kepada guru. Dari semua itu Ela mengatakan bahwa memanusiakan hubungan itu penting karena pendidikan tentang manusia.

“Pendidikan tentang manusia bukan tentang sarana prasarana atau fasilitas,” tutur Ela.

Kemudian temu pendidik nusantara ini akan menghadirkan 170 kelas dengan 1000 peserta yakni guru yang berasal dari 101 daerah. Di temu pendidik nusantara ini peserta juga bebas memilih kelas mana yang akan diikuti selama kegiatan berlangsung. Kegiatan Temu Pendidik Nasional ini akan digelar selama tiga hari dimulai 5 Oktober sampai 7 Oktober.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2PcGoqO
via IFTTT

 

Ilustrasi

KAMPUS Guru Cikal menyelenggarakan Temu Pendidik Nusantara (TPN) 2018 untuk memperingati Hari Guru Internasional. Kegiatan temu pendidik nasional ini merupakan kali kelima dilaksanakan sejak tahun 2013 dan di tahun ini mengangkat tema Memanusiakan Hubungan, Mengembangkan Belajar Berkelanjutan.

Temu pendidik nusantara ini merupakan kulminasi atau puncak tertinggi dari temu pendidik daerah. Sedangkan sebelumnya komunitas guru belajar telah melakukan kegiatan sepanjang tahun yang digerakkan oleh guru-guru di 148 daerah di Indonesia.

Temu pendidik nusantara ini memiliki konsep di mana guru memiliki kesempatan untuk belajar. Tentu saja kegiatan ini pada awalnya mendapatkan kontra karena sebagian guru memiliki stereotip bahwa belajar hanya berlaku kepada siswa dan guru sebagai mediator yang akan menyampaikan ilmu ke siswa atau yang mengajar.

Meskipun begitu Ela panggilan dari Najeela mengatakan bahwa selama hampir lima tahun ini pemahaman tentang guru juga seharusnya belajar dapat diterima dengan baik terbukti dengan komunitas guru belajar yang semakin tumbuh di banyak daerah. Ela juga menyebutkan tidak banyak perbedaan dari temu pendidik nusantara ini dengan yang sebelum-sebelumnya.

“Khusus untuk tahun ini perbedaan utamanya lebih ke topik yang diangkat, yang kami angkat tahun ini memanusiakan hubungan,” kata Ela.

Oleh sebab itu pada tahun ini bukan hanya Kampus Guru Cikal atau Komunitas Guru Belajar yang banyak berbagi tapi juga guru-guru, orang tua murid, dan siswa. Karena Ela meyakini bahwa pendidikan itu tentunya berbicara kepada hubungan.

“Yang namanya edukasi itu intinya adalah relasi dan interaksi antar manusia. Nah, yang bikin susah perubahan pendidikan karena sebetulnya hubungannya kompleks banget,” kata Ela lagi.

Tentunya hal itu tidak lari dari stereotip masyarakat menjadi guru sangat susah karena tidak hanya membangun relasi dan komunikasi dengan siswa tapi dengan orang tua siswa dan dengan orang luar di dalam ekosistem pendidikan yang ada. Untuk itu dengan adanya temu pendidik nusantara dengan tema memanusiakan hubungan ini diharapkan bahwa perubahan pendidikan itu bisa dilakukan tidak hanya dari sudut kebijakan ataupun sudut konsep pengembangan guru.

Tuti seorang guru SMK berasal dari Sumatera Barat yang memiliki kesempatan untuk berbagi cerita pun mengatakan bahwa menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Ia menganggap bahwa murid adalah cerminan diri guru saat berinteraksi.

“Kalau kita guru keberhasilan kita itu karena hasil interaksi dengan murid,” tutur Tuti.

Bagi Tuti siswa adalah benda hidup yang dititipkan orang tua dan hal itu yang memberatkan seorang guru apabila tidak mengajar dan mengayomi siswa dengan benar.  Apalagi di zaman yang berbeda, di mana siswa memiliki sudut pandang di luar kotak yang bisa jadi pemikirannya bukanlah hal yang dianggap guru atau orang dewasa manapun bisa untuk dibenarkan.

“Memahami dia dulu, jadi hubungannya adalah saya masuk dunia dia, kita harus tahu mau dia apa terus kita masukkan gaya kita. Kalau sebenarnya berat karena tantangan ke depannya, namun kalau kita enjoy akhirnya yang berat menjadi mudah di antara mereka,” ujar Tuti.

Selain itu hal tersebut membenarkan bahwa siswa juga tidak sepenuhnya bisa belajar dengan gaya guru mengajar di dalam kelas dengan ketat, tentunya belajar sambil bermain dapat membuat siswa lebih santai dan mampu menerima pelajaran dan itulah esensi dari memanusiakan hubungan.

Temu pendidik nusantara dengan tema memanusiakan hubungan ini juga berangkat dari isu kegawatdaruratan pendidikan di Indonesia. Yang mana begitu banyak kasus kekerasan murid kepada guru, guru kepada murid, murid dengan murid dan tidak jarang ada yang orang tua kepada guru. Dari semua itu Ela mengatakan bahwa memanusiakan hubungan itu penting karena pendidikan tentang manusia.

“Pendidikan tentang manusia bukan tentang sarana prasarana atau fasilitas,” tutur Ela.

Kemudian temu pendidik nusantara ini akan menghadirkan 170 kelas dengan 1000 peserta yakni guru yang berasal dari 101 daerah. Di temu pendidik nusantara ini peserta juga bebas memilih kelas mana yang akan diikuti selama kegiatan berlangsung. Kegiatan Temu Pendidik Nasional ini akan digelar selama tiga hari dimulai 5 Oktober sampai 7 Oktober.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2PcGoqO
via IFTTT

Hari Guru Internasional, Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Honorer Gelar Salat Gaib

Hari Guru Internasional, Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Honorer Gelar Salat Gaib (pikiran-rakyat.com)

MASSA yang tergabung dalam wadah bernama Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Honorer Jawa Barat melakukan salat gaib dan doa bersama untuk para guru yang menjadi korban gempa bumi di Palu di halaman Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat 5 Oktober 2018. Dalam aksi yang digelar dalam rangka peringatan hari Guru Internasional tersebut, mereka juga menuntut pengangkatan tenaga guru honorer dan tenaga administrasi sekolah menjadi CPNS dengan merevisi UU Nomor 5 tahun 2014 ASN dan Peraturan Menteri PAN-RB No 36 Tahun 2018 dengan maksimal peserta seleksi CPNS berusia 45 tahun.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2Ph5BQV
via IFTTT

Hari Guru Internasional, Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Honorer Gelar Salat Gaib (pikiran-rakyat.com)

MASSA yang tergabung dalam wadah bernama Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Honorer Jawa Barat melakukan salat gaib dan doa bersama untuk para guru yang menjadi korban gempa bumi di Palu di halaman Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat 5 Oktober 2018. Dalam aksi yang digelar dalam rangka peringatan hari Guru Internasional tersebut, mereka juga menuntut pengangkatan tenaga guru honorer dan tenaga administrasi sekolah menjadi CPNS dengan merevisi UU Nomor 5 tahun 2014 ASN dan Peraturan Menteri PAN-RB No 36 Tahun 2018 dengan maksimal peserta seleksi CPNS berusia 45 tahun.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2Ph5BQV
via IFTTT

Kamis, 04 Oktober 2018

‘Tangisan’ Guru Honorer Rayakan Peringatan Hari Guru Sedunia

guru honorer SM3T(psmk.kemdikbud.go.id)

PERINGATAN  Hari Guru se-Dunia yang jatuh pada 5 Oktober nampaknya dirayakan dengan ‘tangisan’ oleh para guru honorer di Indonesia. Karena pasca 73 tahun merdeka, mereka masih terabaikan.

“Guru honorer belum merasakan yang namanya kemerdekaan yang sesungguhnya karena tenaga dan pikiranya di fungsikan scara penuh sama pemerintah namun status dan haknya di abaikan atau tidak diberikan,” ungkap Ketua Forum Honorer Kategori Dua  Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih saat dihubungi Republika, Kamis (4/10).

Titi menjelaskan, selama ini tanggung jawab guru honorer sama persis seperti guru PNS, tidak kurang sedikitpun. Sebagai contoh, jelas dia, operator di sekolah rata-rata di pegang oleh guru honorer sedangkan guru berstatus PNS cukup menyuruh-nyuruh saja.

Padahal salah satu tugas operator sekolah adalah mengerjakan data pokok pendidikan (dapodik) yang di dalamnya ada syarat untuk pengajuan sertifikasi. Lalu yang disayangkan, setelah pengerjaan beres guru PNS akan mendapat tunjangan sertifikasi sedangkan yang mengerjakan yakni guru honorer hanya gigit jari.

“Ini tidak adil khususnya guru honorer K2 yang sudah mengabdi paling sedikit 14 tahu dan ada yang sudah lebih dari 30 tahun mengabdi,” kata dia.

Pada momentum Hari Guru se-Dunia ini dia berharap, agar pemerintah bisa memberikan status yang jelas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap guru honorer K2. Jangan sampai, pengabdian guru honorer dilupakan begitu saja.

“Guru honorer tua karena mengabdi bukan karena keinginan sendiri untuk jadi tua. Justru di saat ini sudah seharusnya pemerintah memberikan penghargaan kepada pencerdas anak bangsa ini bukan terus di sudutkn dengan bertele-tele aturan yang tidak adil terhadap guru honorer yang tua-tua,” tegas Titi.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2xYO9dq
via IFTTT

guru honorer SM3T(psmk.kemdikbud.go.id)

PERINGATAN  Hari Guru se-Dunia yang jatuh pada 5 Oktober nampaknya dirayakan dengan ‘tangisan’ oleh para guru honorer di Indonesia. Karena pasca 73 tahun merdeka, mereka masih terabaikan.

“Guru honorer belum merasakan yang namanya kemerdekaan yang sesungguhnya karena tenaga dan pikiranya di fungsikan scara penuh sama pemerintah namun status dan haknya di abaikan atau tidak diberikan,” ungkap Ketua Forum Honorer Kategori Dua  Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih saat dihubungi Republika, Kamis (4/10).

Titi menjelaskan, selama ini tanggung jawab guru honorer sama persis seperti guru PNS, tidak kurang sedikitpun. Sebagai contoh, jelas dia, operator di sekolah rata-rata di pegang oleh guru honorer sedangkan guru berstatus PNS cukup menyuruh-nyuruh saja.

Padahal salah satu tugas operator sekolah adalah mengerjakan data pokok pendidikan (dapodik) yang di dalamnya ada syarat untuk pengajuan sertifikasi. Lalu yang disayangkan, setelah pengerjaan beres guru PNS akan mendapat tunjangan sertifikasi sedangkan yang mengerjakan yakni guru honorer hanya gigit jari.

“Ini tidak adil khususnya guru honorer K2 yang sudah mengabdi paling sedikit 14 tahu dan ada yang sudah lebih dari 30 tahun mengabdi,” kata dia.

Pada momentum Hari Guru se-Dunia ini dia berharap, agar pemerintah bisa memberikan status yang jelas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap guru honorer K2. Jangan sampai, pengabdian guru honorer dilupakan begitu saja.

“Guru honorer tua karena mengabdi bukan karena keinginan sendiri untuk jadi tua. Justru di saat ini sudah seharusnya pemerintah memberikan penghargaan kepada pencerdas anak bangsa ini bukan terus di sudutkn dengan bertele-tele aturan yang tidak adil terhadap guru honorer yang tua-tua,” tegas Titi.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2xYO9dq
via IFTTT

Perencanaan Strategis Diperlukan Demi Kualitas Guru

Salah seorang guru sedang memantau siswanya pada kegiatan membaca serentak.(Asop Ahmad/Siap Belajar)

FEDERASI  Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak agar pemerintah merancang perencanaan yang strategis dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia. Mulai dari proses rekruitmen PNS guru, pembinaan guru dalam jabatan yang berkelanjutan hingga pemokusan anggaran pendidikan bagi pendidikan dasar dan menengah yang dinilai sebagai simbol pendidikan Indonesia.

“Pemerintah daerah juga sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam tata kelola pendidikan harus penuh kesungguhan. Tanpa itu semua guru tidak akan punya arti apa-apa dalam upaya peningkatan mutu Pendidikan Nasional,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo kepada Republika, Kamis (4/10).

Berdasar pada temuan fakta di lapangan, kata dia, secara umum kompetensi guru masih rendah. Misalnya jika dilihat dari Uji Kompetensi Guru (UKG) standard minimalnya yaitu 55, adapun nilai UKG secara nasional hanya berkisar pada angka 53.

Heru juga mengungkapkan, dari 8 Standar Nasional Pendidikan, standar sarana prasana pendidikan dan standar pendidik dinilai paling memperihatinkan. Terlebih pemberdayaan guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dinilai masih terjebak pada pembuatan rencana pembelajaran dan penyiapan evaluasi.

“Sebaliknya saat pelatihan untuk peningkatan kompetensi secara mandiri yang berminat sangat sedikit. Ada kegiatan seperti itu yang diundang 29 peserta dan yang hadir 13 peserta saja. Itu fakta-fakta di lapangan,” ungkap Heru.

Untuk itu, kata Heru, peringatan Hari Guru se-Dunia ini mesti dijadikan momentum untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan. Sehingga diharapkan ke depannya, persoalan guru dan pendidikan Indonesia segera terpecahkan dan mutu tenaga pendidik pun semakin baik.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2IERt1t
via IFTTT

Salah seorang guru sedang memantau siswanya pada kegiatan membaca serentak.(Asop Ahmad/Siap Belajar)

FEDERASI  Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak agar pemerintah merancang perencanaan yang strategis dalam meningkatkan kualitas guru di Indonesia. Mulai dari proses rekruitmen PNS guru, pembinaan guru dalam jabatan yang berkelanjutan hingga pemokusan anggaran pendidikan bagi pendidikan dasar dan menengah yang dinilai sebagai simbol pendidikan Indonesia.

“Pemerintah daerah juga sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam tata kelola pendidikan harus penuh kesungguhan. Tanpa itu semua guru tidak akan punya arti apa-apa dalam upaya peningkatan mutu Pendidikan Nasional,” kata Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo kepada Republika, Kamis (4/10).

Berdasar pada temuan fakta di lapangan, kata dia, secara umum kompetensi guru masih rendah. Misalnya jika dilihat dari Uji Kompetensi Guru (UKG) standard minimalnya yaitu 55, adapun nilai UKG secara nasional hanya berkisar pada angka 53.

Heru juga mengungkapkan, dari 8 Standar Nasional Pendidikan, standar sarana prasana pendidikan dan standar pendidik dinilai paling memperihatinkan. Terlebih pemberdayaan guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dinilai masih terjebak pada pembuatan rencana pembelajaran dan penyiapan evaluasi.

“Sebaliknya saat pelatihan untuk peningkatan kompetensi secara mandiri yang berminat sangat sedikit. Ada kegiatan seperti itu yang diundang 29 peserta dan yang hadir 13 peserta saja. Itu fakta-fakta di lapangan,” ungkap Heru.

Untuk itu, kata Heru, peringatan Hari Guru se-Dunia ini mesti dijadikan momentum untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan. Sehingga diharapkan ke depannya, persoalan guru dan pendidikan Indonesia segera terpecahkan dan mutu tenaga pendidik pun semakin baik.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2IERt1t
via IFTTT

Rabu, 03 Oktober 2018

837 Ribu Guru Belum Tersertifikasi

Ilustrasi

UPAYA  pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru masih terkendala kapasitas di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LTPK). Hingga saat ini saja sekitar 837.535 guru belum tersertifikasi, terdiri dari sarjana/diploma IV sebanyak 555.453 guru dan belum sarjana/diploma IV sebanyak 282.082 guru.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Supriano mengatakan, tahun ini pemerintah hanya mampu melakukan sertifikasi untuk 20 ribu guru.

“Tahun depan 40 ribu. Kenapa tidak maksimal? tergantung LPTK-nya berapa Perguruan Tinggi yang sanggup menampung,” kata Supriano kepada Republika, Rabu (3/10).

Dia mengatakan, sejumlah cara sedang dikaji pemerintah termasuk dalam hal ini mengubah skema program Profesi Pendidikan Guru (PPG). Yang mana selama ini PPG itu biasa dilakukan selama tiga bulan, satu bulan daring dan dua bulan tatap muka.

“Mungkin nanti bisa kan daringnya sekarang, tatap mukanya tahun depan. Itu semua sedang didiskusikan,” jelas dia.

Supriano menerangkan, saat ini Kemendikbud memang tengah fokus mengkaji beberapa peraturan-peraturan terkait guru salah satunya skema sertifikasi. Karena itu kepala sekolah dan pemerintah daerah diminta agar menyetop perekrutan guru honorer.

“Dalam sebuah aturan itu, setelah diimplementasinya kan ada negatif atau seperti apa. Makanya kami kaji, sementara aturan dikaji, itu (perekrutan honorer) kami kunci dulu,” kata dia.

Supriano mengatakan, ke depan perekrutan guru honorer harus juga mempertimbangkan kualitas guru. Mulai dari jenjang pendidikan, latar belakang pendidikan dan kompetensi lainnya.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2xTz9xm
via IFTTT

Ilustrasi

UPAYA  pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru masih terkendala kapasitas di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LTPK). Hingga saat ini saja sekitar 837.535 guru belum tersertifikasi, terdiri dari sarjana/diploma IV sebanyak 555.453 guru dan belum sarjana/diploma IV sebanyak 282.082 guru.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Supriano mengatakan, tahun ini pemerintah hanya mampu melakukan sertifikasi untuk 20 ribu guru.

“Tahun depan 40 ribu. Kenapa tidak maksimal? tergantung LPTK-nya berapa Perguruan Tinggi yang sanggup menampung,” kata Supriano kepada Republika, Rabu (3/10).

Dia mengatakan, sejumlah cara sedang dikaji pemerintah termasuk dalam hal ini mengubah skema program Profesi Pendidikan Guru (PPG). Yang mana selama ini PPG itu biasa dilakukan selama tiga bulan, satu bulan daring dan dua bulan tatap muka.

“Mungkin nanti bisa kan daringnya sekarang, tatap mukanya tahun depan. Itu semua sedang didiskusikan,” jelas dia.

Supriano menerangkan, saat ini Kemendikbud memang tengah fokus mengkaji beberapa peraturan-peraturan terkait guru salah satunya skema sertifikasi. Karena itu kepala sekolah dan pemerintah daerah diminta agar menyetop perekrutan guru honorer.

“Dalam sebuah aturan itu, setelah diimplementasinya kan ada negatif atau seperti apa. Makanya kami kaji, sementara aturan dikaji, itu (perekrutan honorer) kami kunci dulu,” kata dia.

Supriano mengatakan, ke depan perekrutan guru honorer harus juga mempertimbangkan kualitas guru. Mulai dari jenjang pendidikan, latar belakang pendidikan dan kompetensi lainnya.(republika.co.id)



from Siap Belajar https://ift.tt/2xTz9xm
via IFTTT