Senin, 19 Maret 2018

Acil. Seniman dan Aktivis Lingkungan dari Tasikmalaya

Acil. Seniman dan Aktivis Lingkungan dari Tasikmalaya.(Asop Ahmad/Siap Belajar)

JAKA  Thinker patung tiga dimensi berukuran mungil terbuat dari Koran bekas karya Nurul Hayat S.Pd atau orang lebih mengenalnya dengan panggilan Acil,  warga Kampung Cipasung Cipakat Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya yang pernah singgah di beberapa Negara Asia Tenggara ini,  ternyata dalam pembuatannya tidak semudah yang dibayangkan, tahapan rumit dalam proses menemukan karakter sebuah karya telah dijalaninya

Beberapa kali mengalami perubahan desain bentuk dan tema. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran Acil sendiri dalam menyikapi perubahan lingkungan sekitar, dan pada akhirnya tema Jaka Thinker sebagai sosok seorang pemikir ia kukuhkan menjadi ikon untuk mengiringi setiap langkahnya  berkarya

Terinspirasi dari patung the thinker yang ada di Paris, Perancis dibuat pada Tahun 1902 oleh Auguste Rodin. Beda dengan pendahulunya Jaka Thinker bukanlah sosok laki-laki telanjang. Sesuai dengan tujuan Acil sendiri, yaitu mentranslate filosofi the thinker versi Indonesia dengan wujud seorang lelaki berpakaian adat jawa sedang duduk, dagunya bertumpu pada salah satu tangannya seolah-olah hanyut dalam pikiran

Disetiap karyanya bentuk kritikan selalu hadir disesuaikan dengan kondisi riil keadaan, tergantung inspirasi yang mengilhami pemikirannya saat itu, terutama di kehidupan sosial dan lingkungan, tak heran kalau beberapa hasil kreasi tangannya itu mempunyai bentuk nyeleneh, seperti manusia berkepala hewan, Bucket wheel excavator, berkepala banyak dan lainnya

Untuk model satu ini. Jaka Thinker sudah seperti asisten pribadinya kemanapun ia selalu dibawa menemani kehidupannya dalam menggali inspirasi untuk menghasilkan sebuah karya. “Jaka Thinker bagi saya adalah sebuah ide dalam menghasilkan karya karena disana ada penggabungan antara potografi, traveling dan seni tiga dimensi, dalam pembuatannya pun bisa dilakukan dimana saja karena bahan dasarnya adalah Koran bekas dan lem kayu. Simple untuk dibawa kemana pun saya melangkah” kata anak ketiga dari enam bersaudara keluarga Enjang Mahbud (alm) dan Ny. Masriah (75)

Perjalanan sebagai pengrajin karya seni pembuat patung tiga dimensi dari Koran bekas sudah dilakoninya sejak ia berguru pada seorang dosen semasa kuliah 2005 lalu dan fokus dipembuatannya di Tahun 2010

Dari karya pertamanya yang diberi nama Mr. Pacman, terinspirasi dari sebuah game terpopuler waktu itu sebagai manusia rakus penyantap apapun yang ada di hadapannya. Menurutnya, hal tersebut merupakan gambaran terhadap masyarakat yang tidak bisa memfilter informasi akibat mulai merebaknya penggunaan media sosial di seluruh lapisan masyarakat

Hasil Karya dari bahan koran bekas telah banyak ia buat. Untuk mengenalkan hasil ide pemikikirannya itu ia sering mengikuti ajang pameran nasional dan bersekala internasional yang diadakan di dalam negeri sendiri, rata-rata perespon karyanya saat ini mayoritas dari warga negara asing. Mereka, katanya, sudah berpikir jauh dalam menghargai sebuah karya seni

Proses Menemukan Jati Diri

Jiwa seni yang tumbuh pada diri ayah satu anak ini merupakan warisan leluhurnya, bapaknya pernah bekerja menjadi desain grafis di salah satu percetakan media nasional dan pamannya adalah seorang pelukis. Acil sendiri mulai tertarik pada seni terutama seni lukis sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, lanjut ke SMP lebih mencoba untuk bertahan dalam kesenangannya itu hingga pada akhirnya mulai yakin untuk memperdalaminya

Sesudah lulus SMA. Acil kuliah di salah satu universitas yang ada di Jogjakarta, perjalanan panjang untuk menerima selembar ijazah sarjana dilaluinya penuh lika-liku, masuk 1992 lulus Tahun 2000. Dikatakan Acil, waktu itu di tengah perjalanan pendidikan, bapaknya meninggal dunia hingga mempengaruhi biaya kuliah

“Belioulah salah satu sumber keuangan keluarga kami” ujar  Alumni Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Jogjakarta tersebut

Yang ada di pikiran acil waktu itu bagaimana ia harus mempertahankan pendidikannya, dengan bekerja dari perusahan satu ke yang lainnya. Disampaikan Acil, terkadang ia mengambil cuti kuliah untuk bekerja sesudah mendapatkan uang lalu ia masuk lagi, cuti lagi dan masuk lagi hingga pada akhirnya ia merasakan bagaimana bahagianya saat diwisuda

Sempat duduk di bangku S2 mengambil jurusan penciptaan seni lukis, namun tidak sampai tamat. Di akhir kelulusan ia tinggalkan, diakuinya, secarik ijazah bukan tujuan utama yang paling penting bagi dirinya saat itu, bagaimana ia harus mendapatkan ilmu yang diinginkannya.

Dalam berkarya Acil sendiri lebih banyak menghabiskan masa mudanya di Kota yang melestarikan system pemerintahan kesultanan itu, menurutnya, waktu itu di kota ini menjadi tujuan dan sorganya para seniman terutama seni lukis. Banyaknya pelancong asing yang masuk ke Jogjakarta menjadi alasan kenapa kota ini sebagai harapan banyak orang untuk mengenalkan karyanya

Termasuk Acil. Manis dari hasil melukis pernah dirasakannya, beberapa lukisanya sempat menjadi buruan para tourist di sana. Pesannan dari luar negeri didapatkannya hingga pernah satu tahun karyanya dikontrak oleh salah satu galeri yang ada di Singapura. Tentunya itu sebuah prestasi yang tidak pernah ia lupakan semasa hidupnya

Seni lukis adalah salah salah satu dari sekian keterampilan yang dimilikinya, olah vocal suara pernah digelutinya hingga melahirkan dua album, desain grafis dan seni kriya lainnya. Penghargaan local maupun nasional pun diraihnya, diantaranya sebagai juara ke dua tingkat nasional pada ajang lomba gapura yang diikuti oleh empat ribu peserta dari seluruh pelosok Indonesia Tahun 2007

Waktu begitu cepat berlalu. Hingga akhirnya ia sampai pada titik jenuh dalam melukis ada sesuatu yang tidak ia bisa dapatkan di pekerjaan ini, bukan uang atau ketenaran. Diungkapkannya, sesuatu itu adalah kebahagian yang tidak pernah ia rasakan selama dalam berkarya

Ada dorongan di tengah keadaan yang menunutun dirinya melangkah. Exploitasi lingkungan dan ketidak seriusan pemerintah di dalam penanggulangan sampah di daerahnya menjadi inspirasi Acil menetaskan sebuah karya seni yang bahan baku utamanya seratus persen dari sampah

Patung – patung mungil dengan beragam bentuk dan tema sebagai tempat mencurahkan segala unek-uneknya pada ketidak seimbangan kebijakan penguasa menjadi saksi dalam sebuah perjuangan. Membuat gerakan bebas sampah plastik dengan mendirikan Komunitas Plastikmalaya dan terlibat dalam mendirikan sebuah perhimpunan pengrajin dari limbah yang diberi nama Asosiasi Pengrajin Barang Mantan atau APBM not just craff

Di usia senjanya seniman kelahiran 1972 ini berharap bisa berbuat yang terbaik bagi tanah kelairannya, bergerak bersama dengan aktivis lainnya dalam menjaga kesetabilan ekosistem tanah leluhurnya dari tangan-tangan rakus yang ingin merusak tatanan kehidupan generasi yang akan datang. (Asop Ahmad/Siap Belajar)

 

 



from Siap Belajar http://ift.tt/2ppffFo
via IFTTT

Tidak ada komentar:

Acil. Seniman dan Aktivis Lingkungan dari Tasikmalaya.(Asop Ahmad/Siap Belajar)

JAKA  Thinker patung tiga dimensi berukuran mungil terbuat dari Koran bekas karya Nurul Hayat S.Pd atau orang lebih mengenalnya dengan panggilan Acil,  warga Kampung Cipasung Cipakat Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya yang pernah singgah di beberapa Negara Asia Tenggara ini,  ternyata dalam pembuatannya tidak semudah yang dibayangkan, tahapan rumit dalam proses menemukan karakter sebuah karya telah dijalaninya

Beberapa kali mengalami perubahan desain bentuk dan tema. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran Acil sendiri dalam menyikapi perubahan lingkungan sekitar, dan pada akhirnya tema Jaka Thinker sebagai sosok seorang pemikir ia kukuhkan menjadi ikon untuk mengiringi setiap langkahnya  berkarya

Terinspirasi dari patung the thinker yang ada di Paris, Perancis dibuat pada Tahun 1902 oleh Auguste Rodin. Beda dengan pendahulunya Jaka Thinker bukanlah sosok laki-laki telanjang. Sesuai dengan tujuan Acil sendiri, yaitu mentranslate filosofi the thinker versi Indonesia dengan wujud seorang lelaki berpakaian adat jawa sedang duduk, dagunya bertumpu pada salah satu tangannya seolah-olah hanyut dalam pikiran

Disetiap karyanya bentuk kritikan selalu hadir disesuaikan dengan kondisi riil keadaan, tergantung inspirasi yang mengilhami pemikirannya saat itu, terutama di kehidupan sosial dan lingkungan, tak heran kalau beberapa hasil kreasi tangannya itu mempunyai bentuk nyeleneh, seperti manusia berkepala hewan, Bucket wheel excavator, berkepala banyak dan lainnya

Untuk model satu ini. Jaka Thinker sudah seperti asisten pribadinya kemanapun ia selalu dibawa menemani kehidupannya dalam menggali inspirasi untuk menghasilkan sebuah karya. “Jaka Thinker bagi saya adalah sebuah ide dalam menghasilkan karya karena disana ada penggabungan antara potografi, traveling dan seni tiga dimensi, dalam pembuatannya pun bisa dilakukan dimana saja karena bahan dasarnya adalah Koran bekas dan lem kayu. Simple untuk dibawa kemana pun saya melangkah” kata anak ketiga dari enam bersaudara keluarga Enjang Mahbud (alm) dan Ny. Masriah (75)

Perjalanan sebagai pengrajin karya seni pembuat patung tiga dimensi dari Koran bekas sudah dilakoninya sejak ia berguru pada seorang dosen semasa kuliah 2005 lalu dan fokus dipembuatannya di Tahun 2010

Dari karya pertamanya yang diberi nama Mr. Pacman, terinspirasi dari sebuah game terpopuler waktu itu sebagai manusia rakus penyantap apapun yang ada di hadapannya. Menurutnya, hal tersebut merupakan gambaran terhadap masyarakat yang tidak bisa memfilter informasi akibat mulai merebaknya penggunaan media sosial di seluruh lapisan masyarakat

Hasil Karya dari bahan koran bekas telah banyak ia buat. Untuk mengenalkan hasil ide pemikikirannya itu ia sering mengikuti ajang pameran nasional dan bersekala internasional yang diadakan di dalam negeri sendiri, rata-rata perespon karyanya saat ini mayoritas dari warga negara asing. Mereka, katanya, sudah berpikir jauh dalam menghargai sebuah karya seni

Proses Menemukan Jati Diri

Jiwa seni yang tumbuh pada diri ayah satu anak ini merupakan warisan leluhurnya, bapaknya pernah bekerja menjadi desain grafis di salah satu percetakan media nasional dan pamannya adalah seorang pelukis. Acil sendiri mulai tertarik pada seni terutama seni lukis sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, lanjut ke SMP lebih mencoba untuk bertahan dalam kesenangannya itu hingga pada akhirnya mulai yakin untuk memperdalaminya

Sesudah lulus SMA. Acil kuliah di salah satu universitas yang ada di Jogjakarta, perjalanan panjang untuk menerima selembar ijazah sarjana dilaluinya penuh lika-liku, masuk 1992 lulus Tahun 2000. Dikatakan Acil, waktu itu di tengah perjalanan pendidikan, bapaknya meninggal dunia hingga mempengaruhi biaya kuliah

“Belioulah salah satu sumber keuangan keluarga kami” ujar  Alumni Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Jogjakarta tersebut

Yang ada di pikiran acil waktu itu bagaimana ia harus mempertahankan pendidikannya, dengan bekerja dari perusahan satu ke yang lainnya. Disampaikan Acil, terkadang ia mengambil cuti kuliah untuk bekerja sesudah mendapatkan uang lalu ia masuk lagi, cuti lagi dan masuk lagi hingga pada akhirnya ia merasakan bagaimana bahagianya saat diwisuda

Sempat duduk di bangku S2 mengambil jurusan penciptaan seni lukis, namun tidak sampai tamat. Di akhir kelulusan ia tinggalkan, diakuinya, secarik ijazah bukan tujuan utama yang paling penting bagi dirinya saat itu, bagaimana ia harus mendapatkan ilmu yang diinginkannya.

Dalam berkarya Acil sendiri lebih banyak menghabiskan masa mudanya di Kota yang melestarikan system pemerintahan kesultanan itu, menurutnya, waktu itu di kota ini menjadi tujuan dan sorganya para seniman terutama seni lukis. Banyaknya pelancong asing yang masuk ke Jogjakarta menjadi alasan kenapa kota ini sebagai harapan banyak orang untuk mengenalkan karyanya

Termasuk Acil. Manis dari hasil melukis pernah dirasakannya, beberapa lukisanya sempat menjadi buruan para tourist di sana. Pesannan dari luar negeri didapatkannya hingga pernah satu tahun karyanya dikontrak oleh salah satu galeri yang ada di Singapura. Tentunya itu sebuah prestasi yang tidak pernah ia lupakan semasa hidupnya

Seni lukis adalah salah salah satu dari sekian keterampilan yang dimilikinya, olah vocal suara pernah digelutinya hingga melahirkan dua album, desain grafis dan seni kriya lainnya. Penghargaan local maupun nasional pun diraihnya, diantaranya sebagai juara ke dua tingkat nasional pada ajang lomba gapura yang diikuti oleh empat ribu peserta dari seluruh pelosok Indonesia Tahun 2007

Waktu begitu cepat berlalu. Hingga akhirnya ia sampai pada titik jenuh dalam melukis ada sesuatu yang tidak ia bisa dapatkan di pekerjaan ini, bukan uang atau ketenaran. Diungkapkannya, sesuatu itu adalah kebahagian yang tidak pernah ia rasakan selama dalam berkarya

Ada dorongan di tengah keadaan yang menunutun dirinya melangkah. Exploitasi lingkungan dan ketidak seriusan pemerintah di dalam penanggulangan sampah di daerahnya menjadi inspirasi Acil menetaskan sebuah karya seni yang bahan baku utamanya seratus persen dari sampah

Patung – patung mungil dengan beragam bentuk dan tema sebagai tempat mencurahkan segala unek-uneknya pada ketidak seimbangan kebijakan penguasa menjadi saksi dalam sebuah perjuangan. Membuat gerakan bebas sampah plastik dengan mendirikan Komunitas Plastikmalaya dan terlibat dalam mendirikan sebuah perhimpunan pengrajin dari limbah yang diberi nama Asosiasi Pengrajin Barang Mantan atau APBM not just craff

Di usia senjanya seniman kelahiran 1972 ini berharap bisa berbuat yang terbaik bagi tanah kelairannya, bergerak bersama dengan aktivis lainnya dalam menjaga kesetabilan ekosistem tanah leluhurnya dari tangan-tangan rakus yang ingin merusak tatanan kehidupan generasi yang akan datang. (Asop Ahmad/Siap Belajar)

 

 



from Siap Belajar http://ift.tt/2ppffFo
via IFTTT