Minggu, 18 Maret 2018

SMP Islam Jatiwaras Menyelaraskan Kegiatan Pendidikan dengan Lingkungan Sekitar

 

Salah seorang guru sedang memantau siswanya pada kegiatan membaca serentak.(Asop Ahmad/Siap Belajar)

TASIKMALAYA, SB – Ada kelonggaran yang diterapkan pemerintah, khususnya untuk Kabupaten Tasikmalaya tentang aturan sekolah delapan jam. Itu bisa dilakukan apabila siswa dari sekolah tidak ikut pendidikan madrasah diniyah.

Begitu dipaparkan Nendi Hardiansyah S.Pd, kepala SMP Islam Jatiwaras. Sejak diberlakukannya program sekolah delapan jam untuk tingkat SMP dan SMA sederajat,  ternyata tidak semua sekolah bisa melaksanakan program tersebut. Ada hal mendasar yang terkadang harus menyelaraskan sebuah kebijakan dengan keadaan lingkungan sekitar

Diakui Nendi, rutinitas kegiatan sekolahnya tidak berubah dari awal berdiri hingga sekarang. Setiap harinya sampai pukul 13.00 WIB. Sekolahnya masih mempertahankan aktivitasnya tersebut, meskipun sekolah lain sudah menyesuaikan dengan kebijakan baru dari pemerintah tentang keharusan delapan jam sekolah.

Menurut Nendi, hal tersebut sudah dibicarakan sebelumnya dengan dinas terkait. Alasan kenapa pihaknya tidak bisa melaksanakan peraturan itu, karena sekolahnya  harus berbagi fasilitas ruangan dengan madrasah diniyah.

Adanya kegiatan pendidikan nonformal sudah menjadi rutinitas jauh sebelum SMP Islam Jatiwaras berdiri. Aktivitasnya mulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30. Tempatnya sama dengan yang biasa dipakai SMP Islam Jatiwaras.

Dengan kondisi sarana yang ada tidak membuatnya menyerah, itu dibuktikan dengan lahirnya kebijakan yang  mengharuskan siswa untuk mengikuti pendidikan madrasah diniyah di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing

Hingga akhirnya sinergitas antara dua lembaga pendidikan ini berjalan dengan baik, begitupun dengan anak didiknya dalam melaksanakan belajar di madrasah diniyah sudah merasa bahwa itu merupakan tugas dan kewajiban

“Tidak ada alasan bagi siswa kami untuk tidak mengikuti rutinitas belajar di madrasah diniyah, semuanya diharuskan tanpa terkecuali. Agar pelaksanaannya tertib kami bersama pihak madrasah diniyah terus berkomunikasi dalam rangka pemantauan siswa” ungkapnya

Pada akhirnya dua lembaga pendidikan ini terus bersinergi tidak saling bersikutan apalagi memutus keberlangsungan kegiatan salah satunya. Masih teringat di pikirannya tentang ungkapan pengawas sekolah yang disampaikan padanya bahwa MDT terlahir dari masyarakat jauh sebelum sekolah ini berdiri dan apabila program sekolah sampai sore dipaksakan. Itu tidak indah.

Sekolah yang berdiri tujuh tahun silam itu sampai saat ini baru mempunyai satu ruangan guru sekaligus ruangan kepala sekolah, satu ruangan perpustakaan, laboratorium IPA dan tiga ruangan kelas, masing-masing digunakan untuk belajar 32 siswa kelas tujuh, 29 kelas delapan serta 39 siswa di kelas sembilan.

Program sekolah

Label pendidikan Islam yang disandang sekolah itu bukan sekedar hiasan,  tetapi merupakan bentuk tanggung jawab lembaga tersebut mendidik generasai, yang paham akan ilmu pengetahuan umum dan agama.

Dalam pendidikan karakter , SMP Islam Jatiwaras cendrung lebih merealisasikan dan mempertahankan aturan program pemerintah. Ajengan Masuk Sekolah (AMS) misalnya, tadinya hanya seminggu satu kali, karena dirasakan manfaatnya akhirnya program tersebut menjadi kegiatan harian terkecuali hari senin

Setengah jam sebelum KBM dimulai seluruh siswa mendalami kitab kuning. Belajar membaca tulisan arab gundul, melogat, mengartikan dan menyimak. Tidak banyak yang dipelajari selama rentan waktu itu, namun mereka terus intens setiap harinya bercengkrama dengan pelajaran khas pesantren tersebut

Membiasakan membaca pada siswa begitu diperhatikan sekolah ini, setiap hari ada waktu khusus, lima menit sebelum dimulainya jam pembelajaran, dengan bimbingan guru mata pelajaran pertama siswa serempak membaca buku yang mereka pinjam dari perpustakaan atau buku yang dibawa dari rumahnya

“Sebelumnya siswa harus mendaftarkan buku yang akan dibacanya, perlu beberapa hari untuk bisa menyelesaikan, seminggu sekali guru mengevaluasi sejauh mana para siswa memahami buku yang telah dibacanya melalui ringkasan yang dituangkan lewat tulisan“ ujar Nendi

Menggali dan mengenalkan budaya juga ditanamkan sekolah ini melalui pelatihan berkala, hasilnya pun bisa dibanggakan. Di tengah gempuran arus informasi dan teknologi yang kebablasan hingga mayoritas generasi muda lupa purwadaksi asing terhadap budayanya sendiri. Siswa di sekolah ini justru tekun mempelajari warisan leluhurnya yang hampir terenggut oleh perubahan zaman

Sejak 2015 lalu SMP Islam Jatiwaras memfokuskan untuk melatih budaya upacara adat, bukan mengkulturkan hingga budaya sunda lainnya seolah tidak ada tempat di sekolahnya, dikatakan Nendi, Sengaja ia mengambil itu karena ada guru yang secara keilmuan mampu mengajarkannya serta supaya lebih focus hingga siswa bisa lebih jauh dalam memahaminya “Perinsip kami, lebih baik sedikit tapi mereka tahu banyak tentang hal itu” tuturnya

“Setiap kamis sesudah KBM siswa mendalami dan mengasah kemampuannya, rata-rata yang terlibat pada kegiatan itu siswa kelas delapan dan Sembilan, setiap tahunnya regenerasi kelompok terus bergulir seiring datang dan perginya mereka” sambung Nendi.

Ia juga menegaskan adanya pergantian atau bongkar pasang personil tidak mengurangi kekompakan tim, justru yang diharapkannya semua alumni bisa memelihara pengetahuannya itu dan untuk dikembangkan dimanapun berada

Tidak heran disetiap kegiatan, budaya upacara adat selalu ditampilkan di sekolah tersebut, bahkan tidak sekedar unjuk kemampuan di tempat belajarnya, tim upacara adat ini sering diundang masyarakat dalam acara pernikahan atau lainnya. Sekolah-sekolah sekitar juga sering menggunakan jasa keterampilan siswanya dalam berkesenian upacara adat. (Asop Ahmad/Siap Belajar)



from Siap Belajar http://ift.tt/2pkz8NU
via IFTTT

Tidak ada komentar:

 

Salah seorang guru sedang memantau siswanya pada kegiatan membaca serentak.(Asop Ahmad/Siap Belajar)

TASIKMALAYA, SB – Ada kelonggaran yang diterapkan pemerintah, khususnya untuk Kabupaten Tasikmalaya tentang aturan sekolah delapan jam. Itu bisa dilakukan apabila siswa dari sekolah tidak ikut pendidikan madrasah diniyah.

Begitu dipaparkan Nendi Hardiansyah S.Pd, kepala SMP Islam Jatiwaras. Sejak diberlakukannya program sekolah delapan jam untuk tingkat SMP dan SMA sederajat,  ternyata tidak semua sekolah bisa melaksanakan program tersebut. Ada hal mendasar yang terkadang harus menyelaraskan sebuah kebijakan dengan keadaan lingkungan sekitar

Diakui Nendi, rutinitas kegiatan sekolahnya tidak berubah dari awal berdiri hingga sekarang. Setiap harinya sampai pukul 13.00 WIB. Sekolahnya masih mempertahankan aktivitasnya tersebut, meskipun sekolah lain sudah menyesuaikan dengan kebijakan baru dari pemerintah tentang keharusan delapan jam sekolah.

Menurut Nendi, hal tersebut sudah dibicarakan sebelumnya dengan dinas terkait. Alasan kenapa pihaknya tidak bisa melaksanakan peraturan itu, karena sekolahnya  harus berbagi fasilitas ruangan dengan madrasah diniyah.

Adanya kegiatan pendidikan nonformal sudah menjadi rutinitas jauh sebelum SMP Islam Jatiwaras berdiri. Aktivitasnya mulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30. Tempatnya sama dengan yang biasa dipakai SMP Islam Jatiwaras.

Dengan kondisi sarana yang ada tidak membuatnya menyerah, itu dibuktikan dengan lahirnya kebijakan yang  mengharuskan siswa untuk mengikuti pendidikan madrasah diniyah di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing

Hingga akhirnya sinergitas antara dua lembaga pendidikan ini berjalan dengan baik, begitupun dengan anak didiknya dalam melaksanakan belajar di madrasah diniyah sudah merasa bahwa itu merupakan tugas dan kewajiban

“Tidak ada alasan bagi siswa kami untuk tidak mengikuti rutinitas belajar di madrasah diniyah, semuanya diharuskan tanpa terkecuali. Agar pelaksanaannya tertib kami bersama pihak madrasah diniyah terus berkomunikasi dalam rangka pemantauan siswa” ungkapnya

Pada akhirnya dua lembaga pendidikan ini terus bersinergi tidak saling bersikutan apalagi memutus keberlangsungan kegiatan salah satunya. Masih teringat di pikirannya tentang ungkapan pengawas sekolah yang disampaikan padanya bahwa MDT terlahir dari masyarakat jauh sebelum sekolah ini berdiri dan apabila program sekolah sampai sore dipaksakan. Itu tidak indah.

Sekolah yang berdiri tujuh tahun silam itu sampai saat ini baru mempunyai satu ruangan guru sekaligus ruangan kepala sekolah, satu ruangan perpustakaan, laboratorium IPA dan tiga ruangan kelas, masing-masing digunakan untuk belajar 32 siswa kelas tujuh, 29 kelas delapan serta 39 siswa di kelas sembilan.

Program sekolah

Label pendidikan Islam yang disandang sekolah itu bukan sekedar hiasan,  tetapi merupakan bentuk tanggung jawab lembaga tersebut mendidik generasai, yang paham akan ilmu pengetahuan umum dan agama.

Dalam pendidikan karakter , SMP Islam Jatiwaras cendrung lebih merealisasikan dan mempertahankan aturan program pemerintah. Ajengan Masuk Sekolah (AMS) misalnya, tadinya hanya seminggu satu kali, karena dirasakan manfaatnya akhirnya program tersebut menjadi kegiatan harian terkecuali hari senin

Setengah jam sebelum KBM dimulai seluruh siswa mendalami kitab kuning. Belajar membaca tulisan arab gundul, melogat, mengartikan dan menyimak. Tidak banyak yang dipelajari selama rentan waktu itu, namun mereka terus intens setiap harinya bercengkrama dengan pelajaran khas pesantren tersebut

Membiasakan membaca pada siswa begitu diperhatikan sekolah ini, setiap hari ada waktu khusus, lima menit sebelum dimulainya jam pembelajaran, dengan bimbingan guru mata pelajaran pertama siswa serempak membaca buku yang mereka pinjam dari perpustakaan atau buku yang dibawa dari rumahnya

“Sebelumnya siswa harus mendaftarkan buku yang akan dibacanya, perlu beberapa hari untuk bisa menyelesaikan, seminggu sekali guru mengevaluasi sejauh mana para siswa memahami buku yang telah dibacanya melalui ringkasan yang dituangkan lewat tulisan“ ujar Nendi

Menggali dan mengenalkan budaya juga ditanamkan sekolah ini melalui pelatihan berkala, hasilnya pun bisa dibanggakan. Di tengah gempuran arus informasi dan teknologi yang kebablasan hingga mayoritas generasi muda lupa purwadaksi asing terhadap budayanya sendiri. Siswa di sekolah ini justru tekun mempelajari warisan leluhurnya yang hampir terenggut oleh perubahan zaman

Sejak 2015 lalu SMP Islam Jatiwaras memfokuskan untuk melatih budaya upacara adat, bukan mengkulturkan hingga budaya sunda lainnya seolah tidak ada tempat di sekolahnya, dikatakan Nendi, Sengaja ia mengambil itu karena ada guru yang secara keilmuan mampu mengajarkannya serta supaya lebih focus hingga siswa bisa lebih jauh dalam memahaminya “Perinsip kami, lebih baik sedikit tapi mereka tahu banyak tentang hal itu” tuturnya

“Setiap kamis sesudah KBM siswa mendalami dan mengasah kemampuannya, rata-rata yang terlibat pada kegiatan itu siswa kelas delapan dan Sembilan, setiap tahunnya regenerasi kelompok terus bergulir seiring datang dan perginya mereka” sambung Nendi.

Ia juga menegaskan adanya pergantian atau bongkar pasang personil tidak mengurangi kekompakan tim, justru yang diharapkannya semua alumni bisa memelihara pengetahuannya itu dan untuk dikembangkan dimanapun berada

Tidak heran disetiap kegiatan, budaya upacara adat selalu ditampilkan di sekolah tersebut, bahkan tidak sekedar unjuk kemampuan di tempat belajarnya, tim upacara adat ini sering diundang masyarakat dalam acara pernikahan atau lainnya. Sekolah-sekolah sekitar juga sering menggunakan jasa keterampilan siswanya dalam berkesenian upacara adat. (Asop Ahmad/Siap Belajar)



from Siap Belajar http://ift.tt/2pkz8NU
via IFTTT