Senin, 08 Oktober 2018

Kemendikbud Akan Rekrut Sarjana Pendidikan untuk Guru sementara di Lokasi Bencana

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (antaranews.com)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan akan merekrut sarjana pendidikan yang baru lulus untuk menjadi guru di lokasi bencana di Palu, Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah. Mereka akan menggantikan sementara puluhan guru yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami tersebut.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku sedang menghitung jumlah guru yang dibutuhan. Menurut dia, merekrut sarjana pendidikan menjadi opsi paling realistis jika melihat kebutuhannya yang sangat mendesak.

Ia menyatakan, ada skema lain untuk memenuhi kekurangan guru di Sulteng. Antara lain dengan mengirim guru yang direkrut melalui program Guru Garis Depan (GGD). Kemendikbud masih memverifikasi jumlah pasti guru dan siswa yang meninggal atau belum diketemukan.

“Harus mencari guru pengganti. Sarjana pendidikan yang baru lulus sebagai salah satu prospek. Sambil jalan. Ini persoalan di Sulteng pasti agak lama, dan jauh lebih lama dibandingkan Lombok. Semua upaya kami lakukan. Tapi sebagian guru sudah ada yang melapor ke sekolah siap mengajar kembali,” kata Hamid di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin 8 Oktober 2018.

Ia menjelaskan, kendati proses belajar digelar secara darurat, Kemendikbud tidak akan menerapkan kebijakan khusus seperti mengganti kurikulum. Menurut dia, kurikulum yang dijalankan saat ini, yakni Kurikulum 2013 aplikatif digelar di berbagai kondisi. “Tapi kalau ada usulan (membuat kurikulum darurat) bisa saja kami lakukan,” katanya.

Ia menuturkan, dari laporan dina pendidikan provinsi Sulteng, ada sekitar 2.300 sekolah yang hancur. Jumlah tersebut belum termasuk sekolah yang berada di Kabupaten Sigi. “Kami belum bisa masuk ke Sigi karena akses jalan putus. Kami tidak bisa menjangkau daerah yang ingin kami kunjungi,” katanya.

Kurikulum sekolah darurat bagi lokasi bencana

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Kemendikbud untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengakatan, kurikulum darurat perlu karena para siswa di lokasi bencana tak bisa belajar dengan normal.

Menurut dia, setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa pemerintah harus mengeluarkan kurikulum sekolah darurat. Yakni, ruang bekajar yang tidak nyaman, jam belajar lebih pendek karena keterbatasan ruang kelas, sistem penilaian dan prinsip keadilan bagi semua anak didik.

“Kalau di ruang kelas yang semi permanen bisa menggunakan meja dan kursi di kelas darurat, tapi kalau tenda sangat tidak memungkinkan karena sempit dan tidak tinggi. Bahkan jika hujan deras, kelas-kelas tenda akan bubar karena tenda  tertiup angina dan akan dibajiri air,” kata Retno.

Ia menegaskan, sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku. Pasalnya, selain sarana prasarana sangat minim, kondisi psikologis pendidik dan anakdidik belum stabil. Menurut dia, kurikulum sekolah darurat sangat penting dibuat karena kondisi geografis Indonesia masuk dalam kawasan rawan bencana.

“Peserta didik dan pendidik di sekolah darurat sejatinya jangan di bebani dengan beratnya kurikulum nasional yang berlaku saat ini. Sudah semestinya menyesuaikan kondisi riil mereka di lapangan. Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat,” katanya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ynWAhI
via IFTTT

Tidak ada komentar:

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy (antaranews.com)

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan akan merekrut sarjana pendidikan yang baru lulus untuk menjadi guru di lokasi bencana di Palu, Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah. Mereka akan menggantikan sementara puluhan guru yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami tersebut.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku sedang menghitung jumlah guru yang dibutuhan. Menurut dia, merekrut sarjana pendidikan menjadi opsi paling realistis jika melihat kebutuhannya yang sangat mendesak.

Ia menyatakan, ada skema lain untuk memenuhi kekurangan guru di Sulteng. Antara lain dengan mengirim guru yang direkrut melalui program Guru Garis Depan (GGD). Kemendikbud masih memverifikasi jumlah pasti guru dan siswa yang meninggal atau belum diketemukan.

“Harus mencari guru pengganti. Sarjana pendidikan yang baru lulus sebagai salah satu prospek. Sambil jalan. Ini persoalan di Sulteng pasti agak lama, dan jauh lebih lama dibandingkan Lombok. Semua upaya kami lakukan. Tapi sebagian guru sudah ada yang melapor ke sekolah siap mengajar kembali,” kata Hamid di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin 8 Oktober 2018.

Ia menjelaskan, kendati proses belajar digelar secara darurat, Kemendikbud tidak akan menerapkan kebijakan khusus seperti mengganti kurikulum. Menurut dia, kurikulum yang dijalankan saat ini, yakni Kurikulum 2013 aplikatif digelar di berbagai kondisi. “Tapi kalau ada usulan (membuat kurikulum darurat) bisa saja kami lakukan,” katanya.

Ia menuturkan, dari laporan dina pendidikan provinsi Sulteng, ada sekitar 2.300 sekolah yang hancur. Jumlah tersebut belum termasuk sekolah yang berada di Kabupaten Sigi. “Kami belum bisa masuk ke Sigi karena akses jalan putus. Kami tidak bisa menjangkau daerah yang ingin kami kunjungi,” katanya.

Kurikulum sekolah darurat bagi lokasi bencana

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Kemendikbud untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengakatan, kurikulum darurat perlu karena para siswa di lokasi bencana tak bisa belajar dengan normal.

Menurut dia, setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa pemerintah harus mengeluarkan kurikulum sekolah darurat. Yakni, ruang bekajar yang tidak nyaman, jam belajar lebih pendek karena keterbatasan ruang kelas, sistem penilaian dan prinsip keadilan bagi semua anak didik.

“Kalau di ruang kelas yang semi permanen bisa menggunakan meja dan kursi di kelas darurat, tapi kalau tenda sangat tidak memungkinkan karena sempit dan tidak tinggi. Bahkan jika hujan deras, kelas-kelas tenda akan bubar karena tenda  tertiup angina dan akan dibajiri air,” kata Retno.

Ia menegaskan, sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku. Pasalnya, selain sarana prasarana sangat minim, kondisi psikologis pendidik dan anakdidik belum stabil. Menurut dia, kurikulum sekolah darurat sangat penting dibuat karena kondisi geografis Indonesia masuk dalam kawasan rawan bencana.

“Peserta didik dan pendidik di sekolah darurat sejatinya jangan di bebani dengan beratnya kurikulum nasional yang berlaku saat ini. Sudah semestinya menyesuaikan kondisi riil mereka di lapangan. Nanti sistem penilaian dan ujian sekolah serta ujian nasional peserta didik di sekolah-sekolah darurat juga harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah darurat,” katanya.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2ynWAhI
via IFTTT