Jumat, 17 Agustus 2018

Benih Literasi dalam Dongeng Sebelum Tidur

Anak-Anak kelas 3 SDN 1 Purwasari sedang membaca buku di depan kelas (USAID Prioritas)

KENZIE Wira Ardhani (6) sudah cawis dengan piama hitam bergambar Mickey Mouse saat jam dinding menunjukkan pukul 20.30 WIB, Minggu malam, 12 Agustus 2018. Lingkungan kediamannya di kawasan Kopo, Kota Bandung, juga sudah kian sepi. Jadi tak ada lagi dalih bagi siswa kelas I SDIT Fithrah Insani III ini untuk tetap terjaga. Lagi pula, esok hari adalah Senin. Kenzie harus bangun lebih pagi untuk sekolah hari pertama pekan ini.

Terbaring di kamar tidurnya yang bernuansa kuning, Kenzie tak lantas memejamkan mata. Dia menunggu ritual harian yang amat jarang terlewatkan: dongeng sebelum tidur dari bunda. Sebuah kerutinan yang sejak usia 2 tahun dia dapatkan. Kebiasaan dalam jangka waktu lama, yang mulai membuatnya ketagihan.

Ari Nursanti (36), sang bunda, pun tak mau membuat anaknya menunggu lama. Buku ensiklopedia anak-anak yang membahas benda luar angkasa sudah dalam genggaman. Bukan tanpa alasan, Kenzie memang menggandrunginya karena punya cita-cita menjadi astronaut di masa depan.

Prosesi dongeng sebelum tidur pun dimulai. Helai pertama hampir tuntas Ari bacakan, Kenzie menyimak penuh perhatian. Halaman selanjutnya, mata bocah ini mulai luyu. Lantas seperti biasa, di lembar-lembar berikutnya, Kenzie terlelap dengan sendirinya. Selamat tidur, Kenzie..

Komunikasi dalam literasi

Bagi Ari, dongeng sebelum tidur bukan sekadar aktivitas iseng. Sejak awal, wanita yang berkarier di bidang publikasi ini sudah yakin, intensitas komunikasi dengan orang tua adalah salah satu penunjang pertumbuhan seorang anak. Termasuk di dalamnya komunikasi sebelum tidur dalam balutan cerita. Entah memang ada pautannya atau tidak, menurut Ari, Kenzie mampu berkomunikasi dengan lancar lebih dahulu ketimbang anak sebayanya.

Beberapa bulan terakhir, sejak menyandang status siswa kelas I SD, aktivitas literasi Kenzie pun meningkat ke tahap selanjutnya. Dia mulai doyan membaca, bukan hanya dibacakan. Selain minat yang ditanamkan orang tua sejak lama, pola pendidikan di sekolah juga berperan dalam kebiasaan ini.

“Kenzie biasanya membaca buku pada sore dan subuh,” kata Ari Nursanti, Senin, 13 Agustus 2018.

Sore dan subuh hari adalah momentum wajib bagi Kenzie untuk membuka helai demi helai buku cerita. Pasalnya, hasil bacaan akan dinilai oleh sang bunda dalam sebuah catatan yang dinamai Buku Penghubung. Buku inilah yang menjadi media komunikasi setiap harinya, antara Ari sebagai orang tua siswa dengan guru Kenzie keesokan harinya. Buku sederhana yang menjadi perangkat kerja sama lingkungan rumah dengan awak sekolah.

Sinambung Lewat Buku Penghubung

Buku Penghubung yang diamanatkan pada Ari, berisi beragam indikator penilaian. Saban hari Ari rutin mengisi, buku apa dan sudah sampai halaman berapa Kenzie membaca. Juga seberapa lancar bacaannya. Ada pula tabel penilaian salat yang dilengkapi keterangan salat sendiri, salat berjamaah di rumah, atau salat berjamaah di musala. Tabel lainnya berisi penilaian tentang sikap hormat pada orang tua, juga kemandirian dan kedisiplinan di rumah. Teramat lengkap.

Di bagian lain Buku Penghubung, tersedia lembaran yang harus diisi guru. Indikator penilaiannya tak kalah paripurna. Ada tabel yang menerangkan ketawadukan terhadap guru, kerajinan belajar di kelas, juga santun budi dengan pengajar dan sebaya pelajar.

Dengan catatan dari Ari, guru di sekolah punya gambaran terkait keseharian Kenzie. Apakah di rumah mengerjakan salat, mematuhi perintah orang tua, mengerjakan tugas, juga membaca. Sebaliknya, lewat catatan dari sang guru, Ari juga bisa punya warta terkait aktivitas anaknya selama di lingkungan sekolah.

“Catatan guru di Buku Penghubung bisa jadi bahan bagi saya untuk mendidik Kenzie di rumah. Catatan saya di buku itu juga menjadi bahan bagi guru di sekolah,” kata Ari.

Tak sampai di sana. Sejatinya anak-anak yang suka mendapat hadiah, sistem ini pun menerapkan reward and punishment. Jika mendapat penilaian teramat bagus, bisa jadi Kenzie punya jajanan tambahan bahkan mainan baru. Dengan pola seperti ini, ujar Ari, anaknya bisa belajar bahwa ada konsekuensi di setiap perbuatan.

Kerja sama antara Ari di rumah dengan guru Kenzie di sekolah, sudah menjadi kemufakatan sejak awal pendaftaran. Pihak sekolah menekankan, tak ada batasan waktu dalam pendidikan. Tak cukup jika semata-mata berlangsung sejak pukul 07.00 sampai 14.00 di bawah amatan seorang pengajar.

“Pertama mendaftar ke sekolah, saya sebagai orang tua diingatkan bahwa proses pendidikan antara di sekolah dengan di rumah harus seiringan. Misal mendidik anak untuk salat lima waktu kan di rumah juga harus terpantau. Jangan sampai hanya salat kalau sedang di sekolah, jangan pula hanya baca kalau sedang di sekolah,” kata Ari.

Sedikit peluh tambahan

Ari sadar betul, sistem ini menuntut peran lebih dari orang tua. Tapi tak masalah, toh itu untuk kebaikan anaknya. Justru dia bersyukur. Soalnya, baru beberapa bulan mengenyam pendidikan dengan pola seperti ini, progresnya sudah terlihat. Sang anak, menurut Ari, lebih bisa disiplin dan mandiri.

“Karena ketika ada orang tua yang tidak menjalankan sistem ini dengan baik, atau kurang partisipatif memantau anaknya di rumah, itu akan sangat terlihat. Di sekolah, perkembangan anaknya akan lebih lambat dibanding siswa lainnya. Kalau sudah seperti itu, kepala sekolah dan wali kelas biasanya berkunjung ke rumah untuk melihat apa yang terjadi. Bisa jadi itu karena anaknya dipercayakan sepenuhnya pada pengasuh misalkan. Jika dibutuhkan, sekolah juga punya psikolog untuk menangani masalah seperti itu,” papar Ari.

Dengan kata lain, pola pendidikan seperti ini juga memberi pelajaran bagi orang tua. Sejatinya, sekolah bukanlah sebuah biro jasa, yang ketika seseorang telah membayar, lantas bisa lepas tangan begitu saja. Demikian Ari mengambil makna.

Dari Menteri

Peran aktif keluarga dalam proses pendidikan di sekolah, sebenarnya telah dipetuahkan sejak lama. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bahkan mengeluarkan peraturan khusus terkait hal ini sejak tahun lalu. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017 tersebut membahas tentang pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam peraturan ini, terdapat tiga bentuk partisipasi keluarga yang harus dilakukan. Mulai dari peran keluarga dalam aktivitas di sekolah atau satuan pendidikan, di lingkungan rumah, sampai dalam konteks luas kemasyarakatan. Tak lain, tujuannya untuk mendukung proses pendidikan yang dijalani siswa.

Bicara lingkungan sekolah, orang tua siswa harus berperan aktif dalam beragam kegiatan penunjang pendidikan. Baik itu pertemuan orang tua, pendidikan parenting, sampai acara semisal kenaikan kelas.

Sementara saat di rumah, orang tua diberi gambaran terkait peran mereka dalam menyerasikan diri dengan pola pendidikan di sekolah. Antara lain dengan menumbuhkan nilai positif pada karakter anak, memberi fasilitas belajar, memotivasi, dan pastinya menumbuhkan budaya literasi.

Cakupan lebih luas ada pada peran orang tua dalam konteks masyarakat. Dalam peraturan menteri tersebut, orang tua mesti aktif dalam upaya bersama terkait isu-isu besar. Mencakup perlindungan anak dari obat terlarang, kekerasan, pelecehan, sampai pergaulan bebas.

“Keluarga memiliki peran strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional,” demikian bunyi pertimbangan dalam aturan yang diteken Muhadjir Effendy pada 27 September 2017 tersebut.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OKIQUL
via IFTTT

Tidak ada komentar:

Anak-Anak kelas 3 SDN 1 Purwasari sedang membaca buku di depan kelas (USAID Prioritas)

KENZIE Wira Ardhani (6) sudah cawis dengan piama hitam bergambar Mickey Mouse saat jam dinding menunjukkan pukul 20.30 WIB, Minggu malam, 12 Agustus 2018. Lingkungan kediamannya di kawasan Kopo, Kota Bandung, juga sudah kian sepi. Jadi tak ada lagi dalih bagi siswa kelas I SDIT Fithrah Insani III ini untuk tetap terjaga. Lagi pula, esok hari adalah Senin. Kenzie harus bangun lebih pagi untuk sekolah hari pertama pekan ini.

Terbaring di kamar tidurnya yang bernuansa kuning, Kenzie tak lantas memejamkan mata. Dia menunggu ritual harian yang amat jarang terlewatkan: dongeng sebelum tidur dari bunda. Sebuah kerutinan yang sejak usia 2 tahun dia dapatkan. Kebiasaan dalam jangka waktu lama, yang mulai membuatnya ketagihan.

Ari Nursanti (36), sang bunda, pun tak mau membuat anaknya menunggu lama. Buku ensiklopedia anak-anak yang membahas benda luar angkasa sudah dalam genggaman. Bukan tanpa alasan, Kenzie memang menggandrunginya karena punya cita-cita menjadi astronaut di masa depan.

Prosesi dongeng sebelum tidur pun dimulai. Helai pertama hampir tuntas Ari bacakan, Kenzie menyimak penuh perhatian. Halaman selanjutnya, mata bocah ini mulai luyu. Lantas seperti biasa, di lembar-lembar berikutnya, Kenzie terlelap dengan sendirinya. Selamat tidur, Kenzie..

Komunikasi dalam literasi

Bagi Ari, dongeng sebelum tidur bukan sekadar aktivitas iseng. Sejak awal, wanita yang berkarier di bidang publikasi ini sudah yakin, intensitas komunikasi dengan orang tua adalah salah satu penunjang pertumbuhan seorang anak. Termasuk di dalamnya komunikasi sebelum tidur dalam balutan cerita. Entah memang ada pautannya atau tidak, menurut Ari, Kenzie mampu berkomunikasi dengan lancar lebih dahulu ketimbang anak sebayanya.

Beberapa bulan terakhir, sejak menyandang status siswa kelas I SD, aktivitas literasi Kenzie pun meningkat ke tahap selanjutnya. Dia mulai doyan membaca, bukan hanya dibacakan. Selain minat yang ditanamkan orang tua sejak lama, pola pendidikan di sekolah juga berperan dalam kebiasaan ini.

“Kenzie biasanya membaca buku pada sore dan subuh,” kata Ari Nursanti, Senin, 13 Agustus 2018.

Sore dan subuh hari adalah momentum wajib bagi Kenzie untuk membuka helai demi helai buku cerita. Pasalnya, hasil bacaan akan dinilai oleh sang bunda dalam sebuah catatan yang dinamai Buku Penghubung. Buku inilah yang menjadi media komunikasi setiap harinya, antara Ari sebagai orang tua siswa dengan guru Kenzie keesokan harinya. Buku sederhana yang menjadi perangkat kerja sama lingkungan rumah dengan awak sekolah.

Sinambung Lewat Buku Penghubung

Buku Penghubung yang diamanatkan pada Ari, berisi beragam indikator penilaian. Saban hari Ari rutin mengisi, buku apa dan sudah sampai halaman berapa Kenzie membaca. Juga seberapa lancar bacaannya. Ada pula tabel penilaian salat yang dilengkapi keterangan salat sendiri, salat berjamaah di rumah, atau salat berjamaah di musala. Tabel lainnya berisi penilaian tentang sikap hormat pada orang tua, juga kemandirian dan kedisiplinan di rumah. Teramat lengkap.

Di bagian lain Buku Penghubung, tersedia lembaran yang harus diisi guru. Indikator penilaiannya tak kalah paripurna. Ada tabel yang menerangkan ketawadukan terhadap guru, kerajinan belajar di kelas, juga santun budi dengan pengajar dan sebaya pelajar.

Dengan catatan dari Ari, guru di sekolah punya gambaran terkait keseharian Kenzie. Apakah di rumah mengerjakan salat, mematuhi perintah orang tua, mengerjakan tugas, juga membaca. Sebaliknya, lewat catatan dari sang guru, Ari juga bisa punya warta terkait aktivitas anaknya selama di lingkungan sekolah.

“Catatan guru di Buku Penghubung bisa jadi bahan bagi saya untuk mendidik Kenzie di rumah. Catatan saya di buku itu juga menjadi bahan bagi guru di sekolah,” kata Ari.

Tak sampai di sana. Sejatinya anak-anak yang suka mendapat hadiah, sistem ini pun menerapkan reward and punishment. Jika mendapat penilaian teramat bagus, bisa jadi Kenzie punya jajanan tambahan bahkan mainan baru. Dengan pola seperti ini, ujar Ari, anaknya bisa belajar bahwa ada konsekuensi di setiap perbuatan.

Kerja sama antara Ari di rumah dengan guru Kenzie di sekolah, sudah menjadi kemufakatan sejak awal pendaftaran. Pihak sekolah menekankan, tak ada batasan waktu dalam pendidikan. Tak cukup jika semata-mata berlangsung sejak pukul 07.00 sampai 14.00 di bawah amatan seorang pengajar.

“Pertama mendaftar ke sekolah, saya sebagai orang tua diingatkan bahwa proses pendidikan antara di sekolah dengan di rumah harus seiringan. Misal mendidik anak untuk salat lima waktu kan di rumah juga harus terpantau. Jangan sampai hanya salat kalau sedang di sekolah, jangan pula hanya baca kalau sedang di sekolah,” kata Ari.

Sedikit peluh tambahan

Ari sadar betul, sistem ini menuntut peran lebih dari orang tua. Tapi tak masalah, toh itu untuk kebaikan anaknya. Justru dia bersyukur. Soalnya, baru beberapa bulan mengenyam pendidikan dengan pola seperti ini, progresnya sudah terlihat. Sang anak, menurut Ari, lebih bisa disiplin dan mandiri.

“Karena ketika ada orang tua yang tidak menjalankan sistem ini dengan baik, atau kurang partisipatif memantau anaknya di rumah, itu akan sangat terlihat. Di sekolah, perkembangan anaknya akan lebih lambat dibanding siswa lainnya. Kalau sudah seperti itu, kepala sekolah dan wali kelas biasanya berkunjung ke rumah untuk melihat apa yang terjadi. Bisa jadi itu karena anaknya dipercayakan sepenuhnya pada pengasuh misalkan. Jika dibutuhkan, sekolah juga punya psikolog untuk menangani masalah seperti itu,” papar Ari.

Dengan kata lain, pola pendidikan seperti ini juga memberi pelajaran bagi orang tua. Sejatinya, sekolah bukanlah sebuah biro jasa, yang ketika seseorang telah membayar, lantas bisa lepas tangan begitu saja. Demikian Ari mengambil makna.

Dari Menteri

Peran aktif keluarga dalam proses pendidikan di sekolah, sebenarnya telah dipetuahkan sejak lama. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bahkan mengeluarkan peraturan khusus terkait hal ini sejak tahun lalu. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017 tersebut membahas tentang pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam peraturan ini, terdapat tiga bentuk partisipasi keluarga yang harus dilakukan. Mulai dari peran keluarga dalam aktivitas di sekolah atau satuan pendidikan, di lingkungan rumah, sampai dalam konteks luas kemasyarakatan. Tak lain, tujuannya untuk mendukung proses pendidikan yang dijalani siswa.

Bicara lingkungan sekolah, orang tua siswa harus berperan aktif dalam beragam kegiatan penunjang pendidikan. Baik itu pertemuan orang tua, pendidikan parenting, sampai acara semisal kenaikan kelas.

Sementara saat di rumah, orang tua diberi gambaran terkait peran mereka dalam menyerasikan diri dengan pola pendidikan di sekolah. Antara lain dengan menumbuhkan nilai positif pada karakter anak, memberi fasilitas belajar, memotivasi, dan pastinya menumbuhkan budaya literasi.

Cakupan lebih luas ada pada peran orang tua dalam konteks masyarakat. Dalam peraturan menteri tersebut, orang tua mesti aktif dalam upaya bersama terkait isu-isu besar. Mencakup perlindungan anak dari obat terlarang, kekerasan, pelecehan, sampai pergaulan bebas.

“Keluarga memiliki peran strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional,” demikian bunyi pertimbangan dalam aturan yang diteken Muhadjir Effendy pada 27 September 2017 tersebut.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2OKIQUL
via IFTTT