SEBANYAK 568.171 siswa kesetaraan terancam putus sekolah (DO/ drop out) karena pemerintah menghentikan bantuan operasional pendidikan kepada sekolah tempat siswa tersebut belajar.
Padahal, siswa Paket A, B, dan C itu adalah anak usia sekolah yang direkrut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tahun ajaran 2017/2018.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kemendikbud Wartanto mengatakan, pihak sekolah tidak memiliki dana untuk membiayai mereka meskipun siswa tersebut terdaftar sebagai penerima Program Indonesia Pintar (PIP).
”Yang jadi masalah, PIP dapat, tetapi BOP tidak dapat sehingga lembaga pendidikan nonformal khususnya PKBM (pusat kegiatan belajar mengajar) berteriak. Sudah direkrut tapi biaya pembelajarannya tidak ada,” kata Wartanto di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis (15/2/2018).
Ia menjelaskan, Kemendikbud sudah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan agar sekolah pengampu para siswa tersebut mendapat BOP tahun ini.
Menurut dia, usulan anggaran bantuan operasional bagi lembaga pendidikan nonformal mencapai Rp 500 miliar. Dengan demikian, setiap siswa bisa mendapat biaya Rp 750.000-Rp 1,5 juta per tahun.
“Siswa usia sekolah yang tidak bersekolah ini terbagi atas siswa Paket A 69.905 siswa, Paket B 242.004, dan Paket C 256.262 siswa,” katanya.
Ia mengatakan, total siswa paket kesetaraan yang mencakup siswa berusia di atas 21 tahun untuk Paket A 177.264 orang, Paket B 441.021 orang, dan Paket C 433.308 siswa. Jika tidak ada bantuan operasional, siswa paket ini kemungkinan terancam berhenti dari PKBM dan sanggar kegiatan belajar (SKB).
Total PKBM ada 11.000, sedangkan SKB 311. “Tapi tidak semua PKBM dan SKB menjalankan paket kesetaraan,” ujarnya.
Wartanto mengungkapkan, merujuk data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Kemendikbud awalnya merekrut 568.171 anak putus sekolah. Kemendikbud lalu menelusuri data by name by address itu dengan turun langsung ke lapangan.
“Setelah dipilah, tersebutlah ratusan ribu anak yang diajak kembali bersekolah paket. Karena ini program presiden untuk mengurangi kesenjangan,” katanya.
Dirjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud Harris Iskandar menambahkan, ke depan semua satuan pendidikan nonformal wajib memiliki NPSN. Peserta didik kesetaraan dan PAUD harus terdaftar di data pokok pendidikan nasional dan memiliki nomor induk sekolah nasional. Pasalnya, ujian kesetaraan hanya untuk peserta didik yang memiliki NISN.
”Kami berusaha memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga, terutama anak-anak putus sekolah dari keluarga yang kurang mampu. Dengan demikian, ke depan dengan pendidikan kesetaraan, kita pastikan tidak ada anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan serta kita berikan kecakapan dan keterampilan hidup,” ujar Harris.
Harus dibiayai
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri menegaskan, pemerintah harus memberikan bantuan biaya bagi siswa dan lembaga pendidikan nonformal. Biaya tersebut sebagai bentuk dukungan untuk memperluas aksesibilitas pendidikan nasional.
“Tidak adanya BOP ini karena kekurangan kementerian sektoral kita. Termasuk Kemendikbud itu adalah dalam menarasikan kebutuhan anggaran pada forum trilateral meeting terutama ke Kemenkeu,” katanya.
Ia menilai, efisiensi anggaran jangan sampai menghambat upaya pemerintah dalam meningkatkan akselerasi angka partisipasi kasar (APK).
“Indeks pembangunan manusia yang sekarang masih rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Tingkat APK ini bisa terdongkrak melalui pendidikan alternatif ini yakni pendidikan kesetaraan,” katanya.(pikiran-rakyat.com)
from Siap Belajar http://ift.tt/2CziA9m
via IFTTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar