Jumat, 21 September 2018

PPPK Kemajuan Bagi Honorer

Demo guru honorer K2 .( republika.co.id)

KEPUTUSAN pemerintah untuk menerapkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam menyelesaikan masalah tenaga honorer kategori 2 (K2) merupakan kemajuan. Dengan catatatan, tes yang diterapkan dalam PPPK tetap mengutamakan kualitas. Terutama tes PPPK bagi formasi guru yang sekarang masih berstatus honorer.

Pengamat Pendidikan Itje Chodidjah menuturkan, skema PPPK bagi guru honorer menjadi kebijakan paling logis dan tidak menggadaikan kualitas pendidikan nasional. Pasalnya, tidak semua kualitas dari guru honorer K2 memenuhi standar. Kendati demikian, mereka tetap harus diberi kesempatan untuk menjadi PPPK agar mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

“Untuk peraturan memasukan orang menjadi CPNS kan ada UU ASN yang sudah baku. Di mana orang berusia di atas 35 tahun tidak bisa diterima jadi PNS. Nah, tetapi guru-guru honorer yang memang sudah mengabdi puluhan tahun dan kualitasnya baik juga harus dihargai. Harus dimasukkan dalam skema apapun, termasuk PPPK,” kata Itje kepada “PR” di Jakarta, Jumat 21 September 2018.

Ia menilai, skema PPPK bisa menjadi solusi di tengah tarik ulur kepentingan guru dan pemerintah. Menurut dia, tuntutan merevisi UU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berpotensi kontraproduktif. Antara memenuhi keingginan guru honorer dan kepentingan masa depan anak didik.

Ia mengatakan, para guru honorer seharusnya tidak mempermasalahkan pembatasan usia 35 tahun seperti yang tertulis dalam UU ASN. Menurut dia, yang harus diperjuangkan dan dipertanggungjawabkan para guru honorer seharusnya terkait peningkatan kompetensi dan perbaikan penghasilan.

“Menuntut revisi pembatasan usia itu kurang relevan. Masa UU nya dilonggarkan? Kalau usia 35 baru mulai berkarier menjadi guru, itu sebenarnya tidak ringan. Apalagi meminta saat 45 tahun ke atas, menurut saya sih kurang pas. Karena usia segitu seharusnya sudah mapan, bukan baru memulai karier. Walaupun boleh dikata, mereka sudah memulainya sejak lama (honorer). Jadi PPPK itu saya kira merupakan kemajuan, pemerintah memberikan penghargaan kepada para guru honorer K2,” ujar Itje.

Revisi UU ASN

Berbeda pandangan dengan Itje, Anggota Badan Legislasi DPR RI Bambang Riyatno menilai, penghapusan batasan usia dalam UU ASN seharusnya sudah dilakukan sejak 2015, saat wacana revisi UU tersebut mulai bergulir. Kendati demikian, pemerintah hingga saat ini belum juga menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU ASN kepada Baleg DPR. Menurut dia, penghapusan batasan usia bisa menjadi bentuk keberpihakan pemerintah terhadap tenaga honorer.

“DIM nya belum masuk juga, nanti tanggal 25 September 2018 baru akan dibahas lagi. Kami posisinya sekarang menunggu. Jadi nasib guru honorer gimana itu tergantung dari itikad baik pemerintah. Persoalannya mau atau tidak menyelesaikan masalah tenaga honorer ini. Kalau mau ya kelar, kalau tidak ya closed. Opsinya kan tinggal itu dan pemerintah tidak mau mengambil keduanya, jadi digantung,” kata Bambang.

Menurut dia, opsi PPPK tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi para tenaga honorer, terutama guru honorer K2. Pasalnya, PPPK tetap menerapkan tes dan kontraknya akan diperbaiki setiap tahun. “Kenapa mereka menuntut revisi UU, ya karena ingin menjadi PNS. Jadi PPPK ini jauh panggang dari api,” ujarnya.

Ia menegaskan, keterbatasan anggaran tak bisa dijadikan alasan oleh pemerintah sehingga tak kunjung mengangkat tenaga honorer jadi PNS. Pasalnya, setiap tahun ada tak kurang dari 100.000 ASN yang pensiun.

“Dengan mengangkat 1 honorer jadi CPNS, itu dari gaji saja sudah cukup. Karena untuk membayar 1 ASN yang pensiun, bisa untuk membayar gaji 2-3 CPNS. Jadi kalau dari anggaran sebetulnya ada, tinggal niat baik dari pemerintah saja. Sulitnya di mana?,” kata politikus Partai Gerindra ini.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2QPz6uk
via IFTTT

Tidak ada komentar:

Demo guru honorer K2 .( republika.co.id)

KEPUTUSAN pemerintah untuk menerapkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam menyelesaikan masalah tenaga honorer kategori 2 (K2) merupakan kemajuan. Dengan catatatan, tes yang diterapkan dalam PPPK tetap mengutamakan kualitas. Terutama tes PPPK bagi formasi guru yang sekarang masih berstatus honorer.

Pengamat Pendidikan Itje Chodidjah menuturkan, skema PPPK bagi guru honorer menjadi kebijakan paling logis dan tidak menggadaikan kualitas pendidikan nasional. Pasalnya, tidak semua kualitas dari guru honorer K2 memenuhi standar. Kendati demikian, mereka tetap harus diberi kesempatan untuk menjadi PPPK agar mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

“Untuk peraturan memasukan orang menjadi CPNS kan ada UU ASN yang sudah baku. Di mana orang berusia di atas 35 tahun tidak bisa diterima jadi PNS. Nah, tetapi guru-guru honorer yang memang sudah mengabdi puluhan tahun dan kualitasnya baik juga harus dihargai. Harus dimasukkan dalam skema apapun, termasuk PPPK,” kata Itje kepada “PR” di Jakarta, Jumat 21 September 2018.

Ia menilai, skema PPPK bisa menjadi solusi di tengah tarik ulur kepentingan guru dan pemerintah. Menurut dia, tuntutan merevisi UU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berpotensi kontraproduktif. Antara memenuhi keingginan guru honorer dan kepentingan masa depan anak didik.

Ia mengatakan, para guru honorer seharusnya tidak mempermasalahkan pembatasan usia 35 tahun seperti yang tertulis dalam UU ASN. Menurut dia, yang harus diperjuangkan dan dipertanggungjawabkan para guru honorer seharusnya terkait peningkatan kompetensi dan perbaikan penghasilan.

“Menuntut revisi pembatasan usia itu kurang relevan. Masa UU nya dilonggarkan? Kalau usia 35 baru mulai berkarier menjadi guru, itu sebenarnya tidak ringan. Apalagi meminta saat 45 tahun ke atas, menurut saya sih kurang pas. Karena usia segitu seharusnya sudah mapan, bukan baru memulai karier. Walaupun boleh dikata, mereka sudah memulainya sejak lama (honorer). Jadi PPPK itu saya kira merupakan kemajuan, pemerintah memberikan penghargaan kepada para guru honorer K2,” ujar Itje.

Revisi UU ASN

Berbeda pandangan dengan Itje, Anggota Badan Legislasi DPR RI Bambang Riyatno menilai, penghapusan batasan usia dalam UU ASN seharusnya sudah dilakukan sejak 2015, saat wacana revisi UU tersebut mulai bergulir. Kendati demikian, pemerintah hingga saat ini belum juga menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU ASN kepada Baleg DPR. Menurut dia, penghapusan batasan usia bisa menjadi bentuk keberpihakan pemerintah terhadap tenaga honorer.

“DIM nya belum masuk juga, nanti tanggal 25 September 2018 baru akan dibahas lagi. Kami posisinya sekarang menunggu. Jadi nasib guru honorer gimana itu tergantung dari itikad baik pemerintah. Persoalannya mau atau tidak menyelesaikan masalah tenaga honorer ini. Kalau mau ya kelar, kalau tidak ya closed. Opsinya kan tinggal itu dan pemerintah tidak mau mengambil keduanya, jadi digantung,” kata Bambang.

Menurut dia, opsi PPPK tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi para tenaga honorer, terutama guru honorer K2. Pasalnya, PPPK tetap menerapkan tes dan kontraknya akan diperbaiki setiap tahun. “Kenapa mereka menuntut revisi UU, ya karena ingin menjadi PNS. Jadi PPPK ini jauh panggang dari api,” ujarnya.

Ia menegaskan, keterbatasan anggaran tak bisa dijadikan alasan oleh pemerintah sehingga tak kunjung mengangkat tenaga honorer jadi PNS. Pasalnya, setiap tahun ada tak kurang dari 100.000 ASN yang pensiun.

“Dengan mengangkat 1 honorer jadi CPNS, itu dari gaji saja sudah cukup. Karena untuk membayar 1 ASN yang pensiun, bisa untuk membayar gaji 2-3 CPNS. Jadi kalau dari anggaran sebetulnya ada, tinggal niat baik dari pemerintah saja. Sulitnya di mana?,” kata politikus Partai Gerindra ini.(pikiran-rakyat.com)



from Siap Belajar https://ift.tt/2QPz6uk
via IFTTT